“COMEBACK BARCA & NOSTALGIA LAZIO”



Sampai hari ini para penggemar sepakbola masih hangat membicarakan fenomena Comeback Barcelona tempo hari (09/03) di Liga Champions. Tertinggal 0-4 dari PSG, akhirnya justru Barca bisa mengembalikan keadaan dan lolos ke putaran berikutnya dengan agregat 6-5. Malam itu Barca menang 6-1 atas PSG. Comeback Barca ini menorehkan sejarah baru. Belum pernah sebelumnya ada tim yang tertinggal 4 gol di leg pertama bisa bangkit di leg kedua.

Saya pribadi pada awal laga agak pesimis bahwa Barca bisa lolos dgn selisih 5 gol. Memang Barca pernah melakukan comeback di Liga Champions juga musim 2012-2013. Kala itu Barca tertinggal 0-2 dari AC Milan. Bermain leg kedua di Nou Camp, Barca menggila. Tak hanya mengejar ketertinggalan agregat tapi Barca panen gol malam itu. Dua gol kelas atas dari Messi, satu gol masing-masing dari David Villa dan Jordi Alba sudah cukup membuat kepala para pemain AC Milan tertunduk lemas. Tapi PR Barca saat itu ‘hanya’ mengejar 2 gol, sedangkan tempo hari Barca harus mengejar 5 gol. Itu pun dengan catatan PSG tidak bisa membobol gawang mereka sama sekali. Saya pun lemas (mungkin juga ratusan supporter Barca di Nou Camp) pada saat Edinson Cavani berhasil mencetak gol di menit 62’. Tapi kemudian dua gol dari Neymar seakan menyalakan kembali asa yang hampir padam. Apalagi kalau melihat bahwa di menit-menit akhir sang kiper Tes Stegen sampai meninggalkan gawangnya demi untuk membantu tim-nya mencuri gol, itu sudah cukup membuktikan bahwa Barca ingin menang! Dan lalu terjadilah gol Sergi Roberto di menit 95. Selesai sudah. 

Beberapa orang terkenang comeback dramatis yang lain di Final Champions Istanbul 2005. Saat itu Liverpool tertinggal 0-3 di babak pertama. Saya yang waktu itu nonton bareng teman-teman kost merasa bahwa malam itu Paolo Maldini-lah yang akan angkat si trophy di podium kemenangan. Tapi kemudian Liverpool bangkit dan memaksa skor 3-3 bertahan bahkan hingga akhir babak perpanjangan waktu. Lewat drama adu penalty justru Steven Gerrard-lah yang angkat si kuping bundar, bukan Paolo Maldini seperti prediksi saya di babak pertama. 

Persamaan dari kedua peristiwa comeback itu adalah perjuangan sampai akhir, plus sedikit bumbu keajaiban. Disebut keajaiban karena hampir semua orang tidak menyangka bahwa baik Barca atau Liverpool di Istanbul bisa mengejar ketertinggalan bahkan tampil sebagai pemenang. Namun  justru bukan Liverpool yang membuka kenangan saya soal keajaiban dan perjuangan. Bicara keajaiban, saya akan selalu terkenang perjuangan SS Lazio di musim 1999-2000 untuk meraih Scudetto kedua kalinya.

Nostalgia Lazio
Pada musim itu sampai detik-detik terakhir Lazio bersaing ketat dengan Juventus di puncak klasemen. Hingga pekan ke-34, Juve memimpin 2 angka diatas Lazio. Pertandingan terakhir tanggal 14 Mei 2000 mempertemukan Lazio dengan Reggina di Roma, sedangkan Juve bertandang ke Perugia. Kemenangan Lazio akan percuma apabila Juve juga menang di Perugia. Playoff akan dilakukan andai Juve memetik hasil seri dan Lazio menang.

Saat itu cuaca cerah di Stadion Olimpico Roma. Tapi apa yang terjadi di Perugia? Hujan deras! Karena hujan ini pertandingan sempat tertunda. Alih-alih dibatalkan, atas kesepakatan bersama pertandingan tetap dilanjutkan. Penundaan pertandingan ini mengakibatkan pertandingan Lazio selesai lebih cepat. Lazio sukses mengunci kemenangan dengan skor 3-0. Usai pertandingan para supporter banyak yang memilih untuk bertahan di stadion. Mereka mendengarkan dengan harap-harap cemas update terkini pertandingan Juventus di radio.
Dan keajaiban itu terjadi. Skor 1-0 untuk keunggulan Perugia bertahan hingga peluit akhir ditiup si wasit plontos Pierluigi Collina. Bersamaan dengan itu ribuan supporter Lazio  di Olimpico sontak bersorak sorai gembira. Tak ada yang bisa menahan mereka untuk tumpah ruah menyerbu ketengah lapangan stadion. Scudetto!  Betapa terharunya saya melihat ekspresi kegembiraan sang allenatore Sven Goran Ericcson dan Roberto Mancini yang masih berstatus pemain Lazio. Saat itu terus terang saya juga sempat pesimis Lazio bisa juara mengingat lawan terakhir Juventus adalah Perugia yang diatas kertas berada jauh dibawah levelnya.

Akhir yang dramatis itu melengkapi perjalanan penuh perjuangan skuat Lazio dikala itu. Skuat yang cukup ‘mengerikan’ menurut saya. Bagaimana tidak mengerikan, di pintu pertahanan masih ada Alessandro Nesta dan Sinisa Mihajlovic si ahli tendangan bebas dengan kaki kirinya. Lalu ditengah ada otak serangan Juan Sebastian Veron yang akan berbagi peran dengan Dejan Stankovic, Matias Almeyda atau Diego Simeone. Di depan ada Alen Boksic dan Marcelo Salas yang siap menyambut umpan silang dari Sergio Conceicao atau Pavel Nedved. Kalau belum cukup masih ada Simone Inzaghi yang skill-nya tak jauh dari kakaknya. Dengan materi pemain seperti itu rasanya sayang kalau mereka tidak mengangkat trophy juara. Susunan pemain ini yang menyuguhkan tontonan luar biasa disaat menahan imbang AC Milan 4-4 walaupun Shevchenko sukses mencetak hattrick di pertandingan tsb. Tahun 2000 adalah tahun dimana SS Lazio merayakan 100 tahun berdirinya klub. Saya sempat menjadi ‘fans karbitan’ Lazio dengan mengoleksi jersey special edition 100th tsb yang entah ada dimana sekarang.


Dua hal itu; comeback Barca atas PSG dan scudetto Lazio mengingatkan saya akan keajaiban, harapan dan perjuangan. Mengingatkan saya akan idiom umum bahwa bola itu bundar, semua hal bisa terjadi.
Mengingatkan saya bahwa perjuangan harus terus dilakukan sampai peluit terakhir berbunyi. Terimakasih Nou Camp yang telah menghadirkan nostalgia saya akan Lazio.


Comments

Popular Posts