KAMU : Cerita yang Perlu Diwariskan


Cita-cita saya mulia, dan sederhana. Saya membeli stabillo untuk menandai bagian-bagian tertentu dalam buku yang sedang saya baca. Stabillo yang saya pilih berwarna oranye, sewarna dengan kaos timnas Belanda yang terpaksa harus gigit jari karena absen dari ajang Piala Dunia tahun depan.
Cita-cita saya mulia, dan sederhana namun tak berjalan mulus. Beberapa buku yang selesai tak kunjung saya corat coret dengan stabillo tersebut. Sampai akhirnya saya mendapatkan novel "KAMU : Cerita yang Tak Perlu Dipercaya" karya Sabda Armandio.

Seolah-olah ingin melengkapi kisah karier stabillo milik saya itu, pencarian novel KAMU ini juga tidak mulus. Karena novel terbitan tahun 2015 ini sudah sangat jarang beredar. Bertanya pada sang penulis pun tak banyak membantu. 

"Wah saya juga gak tau mas. Terakhir sih katanya ada di Paperclip Lebak Bulus. Tapi ya itu, gak tau juga bener apa ngga haha..."

Enteng sekali jawaban Dio ini. Aneh. Bahkan seorang penulis tak memegang barang satu atau dua biji karyanya. Tapi tak mengapa. Saya sudah cukup senang karena Dio – tokoh dibalik infografik Tirto dan mengatakan bahwa pekerjaannya itu adalah sambilan – telah sudi menjawab kebingungan saya dalam mencari bukunya. Pada akhirnya saya menemukan novel ini. Buku ini saya dapat secara tak sengaja dari pertemanan di media sosial. Sujud syukur rasanya patut saya lakukan karena saya batal terjebak dalam penantian selama 2.734 hari demi untuk membaca novel ini.

Dan ternyata stabillo yang belum pernah digunakan sama sekali itu harus berjibaku melayani saya yang begitu terpukau dengan isi dari novel KAMU ini. Banyak hal dan pemikiran-pemikiran yang melampaui definisi pantas untuk ditandai. Kamu, tokoh dalam novel ini dikisahkan sebagai anak yang suka hobi bolos sekolah dan tidak memiliki kelebihan apapun dalam bidang akademik, kecuali Geografi. Kebiasaannya dideskripsikan dengan jelas di sini; merokok, minum bir dan menghisap ganja yang niscaya susah baginya untuk lolos seleksi kontes Calon-Menantu-Idaman. Tapi dibalik kelakuannya tersebut ternyata tersimpan khasanah-khasanah yang mencerahkan. Contohnya sebagai berikut.

Seseorang yang bertuhan seharusnya membangun jembatan, bukan dinding. Membangun tanah lapang, bukan menara. Sebab keimanan seharusnya menghubungkan, bukan membatasi. Meluas, bukan meninggi.

Seingat saya tidak dijelaskan apakah si Kamu ini pernah pergi bertapa, semedi dan menyendiri ke hutan atau puncak gunung untuk menemukan hakikat kehidupan. Nyatanya ia bisa memunculkan konsep sederhana tersebut di atas. Konsep pemikiran yang berlaku terus dan masih relevan hingga zaman ini yang konon adalah zaman now.

Dalam bagian yang lain, saya menemukan ini.

Mungkin kau saja yang lupa cara mendengar dengan benar.

Sungguh suatu kalimat yang memiliki tafsir yang dalam. Maknanya simpel, bahwa memang kerapkali kita lupa untuk mendengarkan. Kita memiliki kecenderungan untuk terus berbicara, menguraikan ide dan gagasan kita tentang sesuatu tapi lantas berubah kesal saat mendengarkan celoteh orang yang mungkin bermaksud baik dengan mengkritik gagasan yang kita sampaikan.

Kesalahan perihal mendengar juga tak luput sering dilakukan oleh pihak orangtua. Kadang mereka selalu memaksakan kehendak kepada anak-anaknya dengan alasan bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Mereka meminta – kalau tidak mau dibilang memerintahkan – anaknya untuk menjadi seorang dokter atau insinyur sementara si anak hanya ingin menjadi seniman, pemain band atau penyair. Masalah bisa terselesaikan andai terjadi proses mendengar seperti yang diungkapkan di atas. Mendengarkan dengan benar. Dan kalimat ini terlontar dari bibir Orang Utan di novel ini.

Hal-hal filosofis ini belum termasuk kritik sosial Kamu untuk sistem sekolah yang menurutnya salah karena telah menetapkan suatu standar kesuksesan untuk murid-muridnya. Hal ini mengakibatkan murid-murid tersebut dalam tekanan untuk memenuhi batas standar tersebut dan justru pada titik ini, potensi sesungguhnya dari sang murid niscaya terabaikan. Dan proses mencapai standar kesuksesan tersebut sangat menyakitkan dan melelahkan dan bukan tak mungkin akan berujung pada kekecewaan atau depresi. Lagi-lagi hal yang disampaikan oleh si Kamu disini adalah sesuatu yang relevan pada masa kini.

Saya sangat menikmati novel ini. Apalagi Dio betul-betul memanjakan pembaca dengan selera musiknya. Saya mulai memahami kesukaan Dio soal musik ini saat ia menyebut salah satu single dari Gorillaz : On Melancholy Hill dalam novelnya yang lain, 24 Jam Bersama Gaspar.

Soal musik ini langsung disinggung pada bagian awal cerita. Tembang lawas, It’s Right Here For You oleh Mamie Smith & Her Jazz Hounds mengalun saat pembaca dibawa ke dalam suasana kamar tokoh Aku yang suram, dingin dan sepi. Terus terang saya bukan pencinta musik blues jazz. Maka saya mencari tahu soal lagu ini untuk betul-betul dapatkan feel-nya. Dan saya menemukan beberapa fakta soal lagu ini.

Lagu ini adalah salah satu lagu yang mulai diproduksi di tahun 1920, yang menandakan momen saat pertama kalinya orang kulit hitam masuk studio rekaman. Adalah Perry Bradford, seorang Afro-American yang berhasil membujuk Fred Hager, pentolan Okeh Records saat itu untuk merekam lagu Smith. Hager menerimanya, dan ini berimbas pada kerasnya kecaman dan ancaman boikot dari masyarakat karena keputusannya untuk memproduksi lagu orang kulit hitam. Entah ini disengaja atau tidak oleh Dio tapi saya cukup tertarik dengan menemukan fakta-fakta unik tersebut.

Beranjak dari Mamie Smith, pembaca akan disuguhi 2000 Light Years From Home-nya The Rolling Stones. Disusul kemudian My Daddy Rolling Stone dari The Who. Lalu ada Black Satin dari Miles Davis. Rasanya telinga pembaca sedang dilatih Dio untuk menikmati musik-musik dari masa lampau. Kita akan bertemu The Beatles, Bob Dylan, The Byrds bahkan Nick Drake disini.

Saya menghabiskan bagian akhir novel ini sembari duduk di halte busway. Mirip dengan tokoh Aku yang tiap pagi menyempatkan diri untuk duduk di bangku taman kota belakang kantornya, sambil merokok dan mencium bau busuk. Bau ini dideskripsikan Aku sebagai komplikasi rasa frustasi yang dialami kota akibat akumulasi emosi penduduk yang bercampur aduk sehingga kota tersebut mual dan muntah. Bedanya disini saya tidak mencium bau busuk tersebut. Bisa jadi bau tersebut tersamarkan oleh guyuran hujan di luar, hujan yang mengingatkan saya soal kealpaan membawa payung padahal saya tahu saat ini sudah masuk bulan November.

Perhatian saya pada buku ini sempat teralihkan saat seorang pemuda terpeleset akibat kehilangan keseimbangan karena setengah berlari di lantai koridor halte yang licin dan menenteng tas bawaan ukuran besar. Sepintas saya lihat pemuda tersebut jatuh dengan posisi agak salah. Terlambat. Saya pun tak sempat berdiri untuk sekedar memberi bantuan. Tapi ia, si pemuda tersebut yang menurut saya berprofesi sebagai pedagang keliling, bergegas bangun dan mengejar busway yang sudah masuk jalur halte. Pemuda itu seakan takut terlambat menuju tempat tujuannya yang seolah-olah disana telah menunggu seorang juru selamat.

Juru selamat. Istilah ini lagi-lagi saya dapatkan dari novel Kamu. Gosh. Terlalu banyak hikmah (dan pelajaran musik) yang terkandung dalam buku mungil berdimensi 11 x 17 centimeter ini. Untungnya cerita sudah berakhir. Karena kalau tidak, bisa-bisa saya makin mantap untuk memasukkan novel ini ke dalam surat wasiat sebagai salah satu daftar buku yang wajib dibaca oleh anak-anak saya kelak. []

Comments

  1. saya suka caramu bercerita. sayang bgt smp skrg saya masih belum sempat baca buku ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. tapi bukunya udah punya kan? Bagus lho, bisa dinikmati dari awal hingga akhir.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts