Masa Muda Ben Anderson


De, tadinya aku tidak berencana menulis soal om Ben Anderson. Awalnya aku iseng saja membaca-baca buku beliau yang berjudul “Hidup di Luar Tempurung”. Buku ini masuk dalam jajaran sekian buku yang belum selesai aku rampungkan. Buku ini terbitan Marjin Kiri, salah satu penerbit favorit aku. Beberapa kali mereka menerbitkan buku yang menurut aku cukup bagus.

Terakhir aku menuntaskan kumpulan cerpen Selahattin Demirtas dengan judul Subuh. Oh ya, kumpulan cerpen Demirtas ini asli keren De, semoga nanti kelak kamu berkesempatan untuk membacanya. Selain itu ada beberapa judul lain terbitan Marjin Kiri yang juga tak kalah menarik. Ada Penghancuran Buku oleh Fernando Baez, novel Dawuk-nya Mahfud Ikhwan, Memahami Dunia lewat Sepak bola Franklin Foer.

Tempo hari aku sempat punya ide untuk membereskan koleksi buku pribadiku. Jadi aku berniat untuk menyusun database buku-buku tersebut, lalu mengelompokkannya berdasarkan kategori data yang bisa diolah. Seperti misalnya nama pengarang, penerbit, tahun pembelian, lokasi pembelian, kategori fiksi atau non fiksi, dan sebagainya. Jikalau mega proyek ini terlaksana, barangkali nama Marjin Kiri akan berada di salah satu urutan teratas kategori penerbit terbanyak di koleksi pribadiku.

Buku Hidup di Luar Tempurung aku beli pada 10 Juni 2018, tepat pada bulan Ramadan saat itu. Aku membeli buku ini di POST Santa, salah satu toko buku favorit aku. Seingatku, aku ke sana berempat dengan mama kamu, Syafii dan Rajo, sementara abang-abang kamu kami titipkan sementara di rumah Umi. Sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa. Setelah genap dua tahun lebih dua hari sejak pembelian buku ini, aku baru sanggup menyelesaikan Bab pertama.

Buku ini adalah otobiografi yang mengisahkan kehidupan Ben Anderson. Otobiografi ini disusun atas permintaan Endo Chiho, seorang editor di penerbit NTT, Jepang. Menurut Endo, mahasiswa/wi Jepang tak punya rujukan perihal konteks sosial, politik, budaya dan zaman tempat para ilmuwan Anglo-Saxon lahir dan mengenyam pendidikan. Memang ada biografi tentang seniman, politisi, pengusaha atau novelis, tapi sedikit sekali tentang peneliti Barat. Oleh karena itu Endo meminta Anderson untuk menyusun otobiografi ini.

Malam kemarin aku berhasil menyelesaikan Bab 1 yang berjudul Masa Muda yang Terus Berpindah. Ada beberapa catatan dari pembacaanku ini.

Ben Anderson lahir pada 26 Agustus 1936 di Kunming, Tiongkok. Bapaknya berasal dari garis keturunan Irlandia, sementara ibunya keturunan Inggris. Oh ya, aku kasih tau kenapa aku tak kunjung menyelesaikan buku ini sebelumnya. Awal-awal membaca, aku sempat merasa kurang sreg dengan ‘bahasa tidak baku’ dalam buku ini. Misalnya ayah ditulis bokap, ibu ditulis nyokap. Termasuk beberapa ungkapan atau kata-kata informal lain yang aku temukan.

Untungnya, suatu kali aku sempat berkenalan dengan mas Ronny Agustinus, pemimpin redaksi Marjin Kiri sekaligus penerjemah buku otobiografi Anderson ini. Menurut Ronny, justru memang naskah aslinya ditulis oleh Anderson dengan bahasa tak baku tersebut, dengan gaya santai.

Ben Anderson menuliskan kisahnya dengan menarik. Mau tidak mau aku dibuat kagum dengan memorinya ketika menyusun otobiografi ini. Tidak semua orang bisa mengingat dengan jelas, bagaimana masa lalu mereka ketika masih duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah. Satu dua ingatan dan kenangan mungkin bisa dipanggil, namun tak jarang pula banyak yang terlupakan.

Atau bisa jadi, ingatan tentang masa lalu itu begitu komplit dan terang. Namun tidak semua orang bisa menuliskannya atau menyajikannya dalam bentuk narasi yang menarik, lengkap dengan pelajaran-pelajaran yang didapat, seperti yang dialami Oppa Ben.

Salah satu hal yang menarik yang disampaikan oleh Ben Anderson adalah ketika ia masuk ke sekolah Eton lewat jalur beasiswa. Eton adalah sekolah khusus, durasi belajar di sana hanya dua tahun. Jadi Eton ini semacam sekolah persiapan untuk masuk sekolah umum unggulan. Sehingga kurikulumnya dipadatkan.

Ben menceritakan kalau di sana ada jurang perbedaan antara dua kubu. Kubu yang pertama adalah mereka para siswa yang berasal dari keluarga ningrat, keluarga pengusaha atau perbankan yang kaya raya. Sebaliknya, kubu kedua adalah mereka yang masuk Eton dengan beasiswa, mereka yang rata-rata berasal dari keluarga kelas menengah. Selain kelas sosial yang berbeda, tempat mereka tinggal juga dibedakan. Siswa-siswa tajir itu tinggal di griya yang mewah (aku rasa padanan bahasa Inggrisnya adalah mansion...or penthouse?).

Siswa tajir dan siswa missqueen hanya akan bertemu pada saat pelajaran. Dengan penjelasan perbedaan kelas sosial tersebut, tentu kamu bisa tahu, siapa yang bakal bekerja keras dan siapa yang akan berleha-leha karena merasa masa depannya sudah terjamin cerah.

Fenomena perbedaan kelas sosial tentu saja tidak hanya ada di sekolah Eton yang diceritakan Ben. Fenomena ini pasti muncul di sekolah mana pun. Kelak ketika kamu sekolah nanti, kamu akan menjumpai beragam orang dengan latar belakang masing-masing  Tentu saja kamu bebas berteman dengan siapa saja, tak perlu memandang status sosialnya seperti apa.

Beberapa tahun belakangan, konsep homeschooling atau pendidikan di rumah mulai booming. Ketika kasus bullying banyak terjadi di sekolah-sekolah, homeschooling mendadak jadi buah bibir dan menjadi alternatif untuk para orang tua. Note : hal ini tidak berarti men-generalisir kalau semua orang tua yang memilih homeschooling itu karena alasan insecure anaknya bakal jadi korban bully kalau masuk sekolah konvensional.

Di masa pandemi sekarang, ketika sekolah menerapkan kebijakan School From Home (SFH), mereka yang memang sudah terbiasa homeschooling tentu saja tidak akan merasa kesulitan.

Plus minus tentu saja ada. Belajar di rumah tentu tidak mudah, pun juga seharusnya tidak susah. Kita perlu memilah sendiri materi pelajaran apa yang ingin kita sodorkan pada anak-anak, mengatur jadwal bermainnya, hingga menyiapkan fasilitas dan sarana untuk menunjang kegiatan belajar. Video materi belajar homeschooling juga sudah banyak tersedia.

Namun demikian, pengalaman bertemu dan berinteraksi dengan beragam orang dengan kondisi sosial yang berbeda itu rasanya tidak akan didapat dari metode homeschooling. Pengalaman ini penting untuk dirasakan karena bisa jadi bekal untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya, kehidupan ketika kita musti hidup berdampingan dengan orang lain. Dalam lingkar paling dalam, kita punya tetangga. Dalam lingkar sedikit keluar, kita punya masyarakat. Dalam lingkar agak jauh, kita punya kolega, rekan kerja. Dan seterusnya.

Interaksi baik secara frontal atau tidak, adalah sebuah keniscayaan. Friksi atau gesekan sangat mungkin terjadi, namanya juga hidup berdampingan.

Lucunya De, kampus tempat aku kuliah dulu itu, seolah-olah seperti merayakan perbedaan kelas sosial ini. Di kampusku dulu ada kantin yang bernama kantin Borju. Tentu saja, sesuai dengan namanya, kantin ini mematok harga hidangan yang cenderung lebih mahal. Sehingga istilah borju itu lahir karena ya, seharusnya cuma mereka yang punya duit yang niscaya bisa dengan tenang makan dan nongkrong di sana.

Selain soal perbedaan kelas sosial, ada perkara penting lain yang aku dapat dari buku ini. Ben menerangkan bahwa pada akhir 1950an, praktik menghafal puisi nyaris sirna sepenuhnya. Studi ilmu klasik dalam pengertian kunonya yang luas, yang dipandang sebagai basis bagi pendidikan perikemanusiaan, tersisih oleh subjek-subjek yang dianggap lebih berguna untuk karier, profesi dan kehidupan modern secara umum, demikian papar Ben. Bahkan hingga 70 tahun kemudian, hal ini masih saja relevan.

Ada periode masa ketika lembaga atau bimbingan belajar menjamur di mana-mana. Kisah sukses masing-masing diangkat sebagai bagian dari pemikat. Semakin tinggi rating kesuksesan siswanya tembus lolos masuk perguruan tinggi ternama, maka pamor lembaga tersebut akan makin terdongkrak.

Jangan salah De, aku pun dulu juga terpikat. Ketika baru saja naik ke kelas 3 SMA, aku merasa seperti orang asing ketika teman-temanku sudah mulai sibuk ikut bimbingan belajar. Biasanya mereka akan lanjut belajar di lembaga ini selepas pulang sekolah. Tentu saja aku merasa tidak nyaman dengan situasi asing seperti itu, aneh rasanya. Sehingga yang bisa aku lakukan adalah merengek pada kakek kamu agar supaya memperbolehkan aku ikutan les bimbingan belajar. Tidak mudah untuk merayu kakek kamu, aku harus mati-matian menjelaskan kalau ikut bimbingan belajar niscaya akan makin memuluskan langkahku untuk lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) jaman itu.

Cukup menyenangkan membaca kisah masa muda Ben Anderson. Menurutku, ini adalah contoh yang baik buat kamu, termasuk juga abang-abang kamu. Semoga kelak kalian bisa menyusun otobiografi dengan bermodalkan ingatan masing-masing.

Btw, abang kamu Reizha sudah punya diary. Tapi setelah mengintip sejenak buku tersebut, yang kutemukan tidak lebih dari ungkapan rasa gembiranya karena dengan adanya corona, papanya bisa kerja di Bandung dan menemani kalian bermain. Saat aku pindah ke halaman berikutnya dengan pencatatan tanggal yang berbeda, cerita yang disampaikan abang kamu masih sama. Soal corona dan bagaimana kita masih tetap berada di dalam rumah.

Yah tak apa. Justru aku perlu khawatir kalau catatan diarinya cuma berisi soal pengalaman main game playstation. []

Comments

Popular Posts