Al Ghazali, The Alchemist of Happiness


Mimik wajah Sebastian (Ryan Gosling) datar-datar saja saat ia sedang merapikan kemejanya sembari mendengarkan perbincangan Mia (Emma Stone) yang sedang menelpon ibunya di ruangan sebelah. Dalam satu adegan di film La la Land itu, Mia sedang berusaha menjelaskan bahwa pria yang sedang berstatus sebagai kekasihnya, Sebastian itu memiliki cita-cita yang mulia, menyelamatkan musik jazz dengan cara mendirikan klub sendiri. Walaupun faktanya adalah saat ini Sebastian tidak memiliki pekerjaan tetap. Serabutan, bernyanyi dari satu kafe ke kafe yang lain, tidak memiliki penghasilan tetap. Yang terjadi sesudahnya adalah Sebastian memutuskan untuk bergabung dengan grup band temannya, Keith (John Legend) walaupun sebenarnya ia tidak benar-benar suka atau enjoy dengan aliran musik yang ia mainkan.

Pertanyaan usil saya ajukan kepada istri saya. Seandainya ia sebagai Mia dan saya sebagai Sebastian, jalan mana yang akan ia pilih. Apakah yang pertama bahwa ia mendukung saya (sebagai Sebastian) untuk fokus mengejar impian; mendirikan klub jazz sendiri tetapi tidak memiliki penghasilan tetap? Ataukah yang kedua bahwa saya lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan primer terlebih dahulu, menyimpan cita-cita klub jazz dan bekerja dibidang yang sebenarnya saya tidak suka-suka banget?

Dengan polosnya istri menjawab, “yaa yang pertama laah… kejar cita-cita klub jazz”. Setelah beberapa detik dalam keheningan ia lalu menambahkan, “yaa kita juga butuh makan sih ya. Hahaha…”.

Ooh istriku, this is exactly why I love you. Kamu pintar sekali membawaku ke langit sana sebelum akhirnya menukik tajam kembali ke bumi dengan hard-landing. Mengejar cita-cita boleh, tapi asap dapur juga memang perlu ngebul.

Contoh kasus Sebastian dan Mia ini saya lontarkan kepada Kang Kuswandani. Bukan soal mengejar cita-cita, melainkan bagaimana kita bisa tetap menikmati kondisi kekurangan. Bahwa menurut saya adalah memang suatu hal yang cukup berat untuk tetap ‘menikmati’ kondisi kekurangan, seperti misalnya tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap. Hal ini menyambung dengan kajian soal film biografi Imam Ghazali yang kami nonton bersama-sama malam tadi.

Hujjatul Islam, atau disebut dalam istilah baratnya “The Proof of Islam” adalah gelar yang patut disandang Imam Al Ghazali. Ini diungkapkan oleh T.J. Winter, pengajar Islamic Studies di Cambridge University. Yang menjadi dasar dari pernyataan Winter tersebut adalah Al Ghazali mengajarkan bahwa dalam inti keyakinan (iman) dan setiap amalan Islam itu terdapat makna spiritual dan proses pertaubatan, perbaikan dan hijrah (transformasi). Testimoni ini disampaikan dalam bagian-bagian awal film.

Kang Dani menambahkan bahwa memang Imam Ghazali ini sering diperdebatkan karena dalam salah satu karyanya, kitab Ihya Ulumuddin dianggap oleh beberapa kalangan mengandung hadits palsu. Hal ini seakan menafikan bahwa faktanya Imam Ghazali telah menghafal sejumlah 300,000 lebih hadits. Memang yang menjadi perdebatan adalah dalam penyampaian hadits tersebut, Al Ghazali tidak menggunakan metode hadits yang lazim pada umumnya, yakni dengan memperhatikan betul sanad dan riwayat perawi-nya.

Lalu kemudian bahasan berpindah soal salah satu hadits yang terkenal. Oh ya, di kajian ini memang cenderung free-style, bahasan bisa pindah-pindah.

Hadits tersebut adalah bahwa diriwayatkan Rasulullah SAW berkata, “semua anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya lah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi atau Majuzi”.

Pertanyaan yang terlontar berikutnya adalah apakah hadits tersebut berlaku universal, kepada setiap manusia? Atau hanya disampaikan untuk orang Islam saja? secara logika pertanyaan ini mudah saja jawabannya. Jangankan mengatakan bahwa hadits ini berlaku universal, umat selain Islam tentu menganggap bahwa Rasulullah Muhammad SAW bukan junjungan mereka. Sehingga tidak ada kewajiban untuk mengikuti ajarannya.

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ke 7 dari QS. Al Fatihah dengan mengatakan bahwa ‘maghdub’ diartikan sebagai yahudi, sedangkan ‘addhollin’ diartikan sebagai nasrani. Yahudi disini diidentikkan dengan mereka yang sangat fokus kepada kehidupan duniawi. Kebalikannya, ‘addhollin’ identik dengan mereka yang memutuskan untuk total meninggalkan kehidupan duniawi. Majuzi itu dikatakan sebagai penyembah api. Apa artinya api tersebut? Kita tahu api itu panas, sepanas hawa yang kita rasakan apabila kita sedang dikuasai amarah. Maka api ini adalah perlambangan untuk hawa nafsu.

Jadi hadits yang diungkapkan diatas adalah bahwa memang orangtua-lah yang sangat berperan dalam membimbing anak-anaknya. Apakah mereka akan mengarahkan anaknya untuk memiliki sifat materialistis, terjebak dalam kemilau dunia dan memperturutkan hawa nafsu mereka. Atau mengajarkan anak untuk tidak peduli kepada dunia, padahal dunia ini adalah ladang untuk kita beramal shalih, mempersiapkan bekal untuk ke akhirat kelak.

Lalu jalan mana yang kita pilih? Tentu saja jalan yang disebutkan dalam ayat ke 6 QS. Al Fatihah. Yakni jalan yang lurus (shirathal mustaqim), jalan yang diberi kenikmatan. Kenikmatan ini berlaku dalam segala hal. Kenikmatan ini berarti bahwa kita ridho atas setiap apa yang Allah tetapkan kepada kita. Diberi kekayaan, kita ridho. Diberi kesempitan, kekurangan atau bahkan kemiskinan kita pun ridho. Karena dengan demikian maka kenikmatan tadi akan terasa, apapun kondisi yang kita alami.

Kembali soal film Al Ghazali. Kenapa judulnya The Alchemist of Happiness? Karena Imam Ghazali juga pernah membuat buku yang berjudul “Kimia Kebahagiaan”. Apa maknanya?

Tentu kita musti kembali pada definisi kimia. Dalam ilmu kimia, yang kita pelajari adalah unsur-unsur dimana antar unsur tersebut bisa dikombinasikan atau direaksikan sehingga membentuk senyawa baru. Dalam Kimia Kebahagiaan, Imam Ghazali menuturkan bahwa ada 4 (empat) unsur pembentuk kebahagiaan.
Keempat unsur tersebut antara lain :
  1. Mengenal diri
  2. Mengenal Allah, Sang Pencipta
  3. Mengenal dunia
  4. Mengenal akhirat

Nyatanya kami semua belum menemukan apakah keempat unsur tersebut dibahas juga dalam film ini. Walaupun sudah ditemani segelas kopi traktiran kak Marlis plus kue-kue bola manis oleh-oleh dari Turki, kami hanya mampu menonton film ini sampai menit ke 19. Padahal film ini cukup menarik. Selain T.J. Winter, ada juga Dr. Seyyid Hossein Nasr, professor di George Washington University yang memberikan ulasannya soal Imam Ghazali di film ini. Termasuk Shaykh Hamza Yusuf (yang entah kenapa kak Marlis langsung kesengsem melihat wajah beliau ini) dari Zaytuna Institute yang mengatakan bahwa Imam Ghazali tidak akan menulis soal teologi sampai ia mampu menghafal 12,000 halaman dari kitab teologi Islam.


Mungkin kami akan melanjutkan tontonan film ini Kamis depan. Semoga… []

Comments

Popular Posts