Belajar Ikhlas dari Lightning McQueen


Coba hitung, berapa banyak film animasi atau kartun yang benar-benar bagus menurut anda? Bagus dalam artian bukan melulu soal animasinya yang njlimet, penuh warna, detail atau yang lain. Tapi juga bagus dalam hal narasi ceritanya, mengandung makna dan pesan tertentu. Film animasi yang membuat anda termenung sesaat ketika lampu cinema kembali dinyalakan. Film animasi yang membuat anda terdiam, bahkan saat anak anda sudah menarik-narik tangan anda karena ia sudah kebelet pipis. Film animasi yang membuat anda kembali menayangkan ulang adegan-adegan film tersebut di benak anda, padahal belum sampai 10 menit anda meninggalkan bioskop dan beranjak pulang. Film yang membuat anda kembali terdiam didepan setir mobil setelah mengambil uang kembalian parkir, lalu akhirnya berkata… “Bagus yaa filmnya…”.

Pasti bisa dihitung dengan jari. Setidaknya itu yang terjadi pada saya. Dulu perasaan saya diaduk-aduk setelah nonton “Inside Out”. Saya haru saat melihat Bing Bong, karakter imajiner Riley berkorban demi Joy  (si senang) supaya ia bisa lolos dari tempat pembuangan memori usang. Kat Brown dalam review-nya soal Inside Out di Telegraph mengatakan bahwa Bing Bong mengucapkan suatu kalimat yang disebutnya killer line.

“Take her to the moon for me.”

Kalimat itu diucapkan seiring dengan lenyapnya Bing Bong diantara memori-memori lain yang telah usang. Kalimat yang menurut Kat Brown menandakan bahwa sejak saat itulah hilang ingatan kita akan tokoh atau teman imajiner kita masing-masing. Teman imajiner ini sering disalah artikan oleh orang-orang disekitar kita. Alih-alih bertanya lebih dalam perihal sosok teman ini, orangtua cenderung panik dan men-judge bahwa si anak memiliki 6th sense. Lalu judgement brutal dan sesat ini dilanjutkan dengan pencarian ‘orang pintar’ untuk membasmi ingatan si anak tentang temannya. Padahal apa susahnya kita ajak bicara anak kita itu, seperti apa teman yang sering ia panggil, bagaimana penampilannya dan sebagainya. Karena bisa jadi si teman ini hanyalah ekses dari imajinasi anak kita yang sedang tinggi-tingginya.

Ada banyak pesan yang disampaikan di Inside Out. Pesan-pesan yang tadinya saya fikir tidak akan banyak saya temui di film Cars 3. Menonton penampilan terbaru Lightning McQueen ini pun terjadi secara spontan. Istri memberi kabar kalau Cars 3 sudah tayang di bioskop, lalu kami bertanya (basa-basi) pada anak-anak apakah mereka mau untuk nonton film ini. ((( Tentu saja mereka bersorak menjawab iya, apalagi… )))

Beberapa adegan awal masih sama dengan serial-serial sebelumnya. Tak lain tak bukan soal balapan, saling mendahului, manuver bumper-to-bumper antar mobil. Ekspresi McQueen pun masih sama, ia sangat menikmati balapan dengan lawan-lawannya yang sepertinya sudah ia anggap teman sendiri. Mirip dengan serial sebelumnya saat ia musti bersaing dengan si molek dengan ban terbuka, Francesco Bernoulli dari Italy. Walaupun saling ejek, jelas terlihat bahwa antar mereka satu dengan lainnya sangat enjoy dengan kompetisi balap ini.

Alur cerita mulai berubah saat McQueen dengan gampangnya dipecundangi oleh Jackson Storm, si mobil modern tipe masa kini. Mobil dengan penampilan layaknya mobil-mobil balap yang sliweran di saga Fast & Furious. Mobil dengan ground clearance sangat tipis, bumper tebal dan body aerodinamis yang efisien.

Storm adalah perwakilan generasi milenial yang memang seperti ditakdirkan untuk menggeser kaum manula seperti McQueen dan teman-temannya yang lain. Storm adalah generasi yang menjadi makmum setia teknologi, yang percaya sepenuhnya bahwa hal itu adalah senjata utama dalam beradaptasi kepada zaman yang terus berubah. Data statistik, simulator dengan parameter yang riil sesuai dengan kondisi aktual race, piranti monitoring untuk kalkulasi performa adalah beberapa pernak-pernik teknologi yang dimaksud.

Bagaimana dengan McQueen yang notabene adalah produk masa lampau? Produk yang hidup dan berkembang langsung di aspal jalanan, debu dan lumpur asli. Produk yang cukup tahu bahwa hakikat balapan hanyalah soal kecepatan, kecermatan dalam melihat peluang untuk take-over lintasan, stamina dalam mengarungi jumlah putaran track yang banyak. Mampukan McQueen mengejar Storm yang dalam beberapa kali race berhasil mempertontonkan sisi bumper belakang kepadanya?

Tenang, semua itu akan terjawab di film ini. Tapi jangan harapkan ending yang linear, menduga-duga akhir cerita persis seperti yang anda sangkakan. Karena dipastikan anda akan kecewa. Bukan kecewa akan kualitas filmnya, tapi lebih kepada kecewa karena akhir film tidak sesuai dengan waham-waham yang sudah bercokol di otak anda. Sebenarnya pun dalam beberapa adegan ditengah-tengah film, kalau anda teliti niscaya anda sudah bisa menebak kemana jalan cerita akan berakhir.

Cars 3 mengajarkan soal keikhlasan. Betul, adalah hal yang sangat memalukan dalam balapan apabila hanya lampu belakang lawan kita yang terlihat tepat didepan batang hidung kita. Karena ini artinya kita tertinggal dibelakangnya. Hal ini tentu akan memacu adrenalin untuk lebih menggenjot torsi mobil demi menyusul si lawan. Sampai kapan? Yaa sampai kita berhasil merebut posisi race dari si lawan. Bagaimana kalau tidak bisa? Terlepas dari teknologi engine yang digunakan si lawan, kalau memang kita belum mampu mengejarnya maka ada baiknya kita stop dulu laju kendaraan kita. Masuk pitstop, evaluasi dulu apa yang salah, atur strategi lagi untuk menyusulnya, perbaiki apa yang kurang.

Bagaimana kalau tetap saja gagal menyusul? Mungkin itu berarti bahwa memang kita tidak mampu untuk menyusulnya. Mungkin itu berarti bahwa sebaiknya kita ikhlaskan saja, let it go. So what?...
Hal inilah yang dialami McQueen. Terlalu emosi untuk menyusul lawan pun adalah blunder, karena ia jadi tidak bisa objektif menilai keadaan sekitar. Terlalu menuruti hawa nafsu untuk selalu menjadi nomer 1 adalah fatal, karena ia jadi tidak bisa mengukur kapasitas dan kemampuan diri sendiri.

Hebat ya, karakter mobil jadi-jadian ini bisa mengajarkan salah satu filosofi kehidupan yang penting; ikhlas. Keikhlasan yang juga muncul di Inside Out saat Joy merelakan Sadness (si sedih) untuk akhirnya ikut serta di command centre, turut berpartisipasi dalam mengendalikan emosi di kehidupan Riley.

Keikhlasan adalah hal yang mungkin sudah langka di zaman ini. Hal yang seringkali susah untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita yakin bahwa sejumlah uang yang kita cemplungkan kedalam kencleng sholat Jumat kemarin adalah bentuk keikhlasan kita, sementara dalam benak kita terlintas pengharapan untuk ganjaran di hari akhir nanti? Bagaimana sebenarnya hakikat ikhlas itu? Ini bukan suatu hal untuk didiskusikan, melainkan dijalani saja dalam kehidupan. Hati kecil kita sendiri yang bisa menilai sejauh mana keikhlasan kita saat berbuat sesuatu.


Yang pasti film Cars 3 ini patut menjadi salah satu referensi hiburan bersama keluarga di akhir pekan sekarang. Anda dan anak-anak dijamin akan tenggelam dalam gelak tawa dan feeling yang lainnya saat nonton. Atau anda punya preferensi lain? Share with me please …

Comments

Popular Posts