Rendang Paru dan Kecurangan yang Halal
Orangtua
saya adalah orang asli Minang. Tepatnya kelahiran Nagari Kumango, Koto
Batusangkar. Seperti orang Minang pada umumnya yang berjiwa petualang, orangtua
saya merantau keluar daerahnya. Bapak dan ibu saya memilih untuk mencari
peruntungan di kota Yogyakarta dan menetap disana sampai sekarang. Bahkan semua
anaknya termasuk saya lahir di Yogyakarta. Makanya saya suka bingung apabila
ditanya suku bangsa saya apa.
Kalau saya
jawab Padang nyatanya saya lahir dan besar di Jawa. Pulang kampung ke
Batusangkar pun terhitung baru sekali saja seumur hidup, yakni saat bapak saya
minta ditemani kesana untuk minta doa restu orang kampong sebelum ia berangkat
naik haji.
Ibu saya
punya kiat khusus untuk mempertahankan garis keturunan Minang dalam darah kami.
Ia mungkin tidak bisa membatasi pergaulan kami di sekolah yang mana disebelah
kiri, kanan, depan dan belakang semuanya orang muhammadiyah Jogja. Ia mungkin
tidak mampu mengajari kami supaya fasih bicara bahasa Minang untuk mengimbangi
bahasa Jawa ngoko yang kami kuasai.
Yang bisa ibu saya lakukan hanyalah
melatih
lidah kami supaya tetap memiliki cita rasa khas Padang (baca : doyan makanan
pedas).
Caranya
gampang. Ia tinggal memasak segala jenis makanan lalu tambahkan kata ‘balado’
di belakangnya. Ayam balado, telor balado, kentang balado, dendeng balado, you named it. Alhasil walaupun perut
kami kerap digempur makanan-makanan manis ala Jogja seperti gudeg, favorit kami
tetap masakan Padang.
Maka
setiap menjelang Lebaran ada satu hidangan spesial yang selalu membuat saya
terkenang. Rendang Paru. Masakan inilah yang sukses membuat kami anaknya selalu
rindu untuk segera mudik pulang kerumah orangtua, berapa pun biayanya. Ibu saya
tidak pernah absen untuk memasak rendang paru pada saat Lebaran Idul Fitri.
“Rendang
ini kan bisa aja lo makan di rumah makan padang s*derhana…”
“Oh man, percayalah. Gak ada yang bisa
ngalahin taste rendang paru buatan nyokap.”
Sebenarnya
memasak rendang paru memang tidak sulit. Bahan-bahan yang diperlukan seperti
daging paru sapi, santan kelapa parut, jahe, lengkuas, cabai merah dan
sebagainya cukup mudah didapat di pasar-pasar tradisional. Untuk catatan
lengkap bumbu dan resep cara memasaknya anda bisa menemukannya dengan di
internet.
Dahulu saya
tidak memperhatikan dengan detail cara ibu saya memasak, karena memang dasarnya
saya tidak suka memasak. Yang saya ingat adalah sekitar jam 7 pagi, ibu saya
akan membangunkan saya yang masih terlelap akibat bermain petasan ba’da sholat
shubuh, untuk mengantarnya ke pasar mengambil daging paru pesanannya. Daging paru
ini sudah dipesannya sejak dua hari sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa
menjelang lebaran permintaan kebutuhan daging sangat tinggi.
Sesampainya
dirumah, paru akan direbus dalam panci yang besar. Lalu kemudian ibu akan
mengolah semua bumbu dan bahan yang saya tulis diatas. Setelah siap, santan
akan dituangkan kedalam wajan yang berisi olahan bumbu yang sudah dihaluskan
tadi, termasuk jahe, lengkuas, kunyit, daun jeruk dan serai. Aduk perlahan,
masak hingga mendidih. Masukkan paru yang sudah dipotong-potong lalu aduk
perlahan lagi.
Dulu saya
mengalami fatamorgana saat melihat
potongan-potongan paru tadi ketika dimasukkan dalam wajan. Karena saya melihat
potongannya besar-besar sedangkan hasil akhirnya nanti akan jauh lebih kecil.
Proses
memasak paru masih berlanjut dengan api kompor yang sudah dikecilkan. Tugas
saya inilah untuk mengaduk masakan tersebut dengan perlahan, jangan sampai
daging parunya pecah. Proses masak ini cukup lama karena dilakukan sampai
santan menyusut dan kering. Lamanya proses memasak ini akan membuat bumbu-bumbu
tadi menyerap dengan baik kedalam daging paru dan menghasilkan rasa yang gurih
dan pedas. Aroma sedap yang tercium kadang membuat saya tak sabar untuk segera
mencicipinya. Seingat saya, ibu mulai memasak rendang paru ini sejak malam
terakhir sholat tarawih. Kalau saya sudah mengantuk, gantian bapak yang akan
mengaduk masakan sampai saatnya sahur tiba.
Rendang
paru pun siap dihidangkan pada hari raya. Rendang paru ini bisa dikombinasikan
dengan hidangan apapun. Biasanya selepas sholat ied di lapangan, kami akan
pulang kerumah dan mendapati meja makan sudah tersedia rendang paru lengkap
dengan sayur ketupat, ayam balado, kerupuk kulit atau emping.
Kalau
sudah begini, seringkali kami tidak bisa menahan diri untuk segera menyantap
semua makanan tersebut. Padahal kami belum sungkem
pada bapak ibu karena mereka biasanya tidak langsung pulang kerumah dan memilih
untuk ber-halal bi halal dahulu, syawalan dengan para tetangga kampung di
masjid. Duh Gusti Allah, ampuni kami…
Selain
rasanya yang empuk, salah satu keunggulan rendang paru ini adalah umur dan
ketahanannya. Terhitung sejak matang, rendang paru masih bisa disantap sampai
jangka waktu sebulan kemudian. Sehingga ibu saya tinggal menghangatkannya dan
memasak varian sayur serta lauk sekunder untuk mendampingi si paru. Sarapan
pagi rendang paru, makan siang ketemu paru, makan malam masih dengan paru. Oh my God…
Sejak kami para anaknya sudah
berkeluarga dan tinggal terpisah dengan orangtua, biasanya ibu akan memisahkan
satu toples besar berisi rendang paru untuk masing-masing kami. Dan sejak saya
mengenal istilah medical cek up,
dengan bijaksana istri saya akan meminta ibu untuk memberikan toples yang lebih
kecil untuk kami bawa pulang ke Jakarta.
Selain kenangan
yang melekat dalam setiap gigitan rendang paru, ada hal lain yang bisa kita
temukan. Gaya hidup metropolitan yang melaju kencang memaksa kita untuk tertib
mengatur pola makan dan berat badan. Sudah pasti, masakan semacam rendang ini
termasuk salah satu makanan yang patut dijauhi dikurangi porsinya.
Tapi coba
pikirkan hal ini. Mudik ke kampung halaman hanya kita lakukan minimal setahun
sekali saat hari raya. Itu pun dengan mengatur jadwal cuti yang ketat, termasuk
mengatur siasat untuk bergantian dengan back
to back kita di kantor.
Jadi apa
salahnya kita sedikit melakukan kecurangan, cheating
terhadap diet yang sudah kita jalani selama ini?
Toh saat kita merasa ragu untuk menyantap
hidangan yang sudah dimasak dengan susah payah oleh ibu kita, bukankah itu
justru membuatnya sedih?
Bukankah
hal yang paling utama adalah membahagiakan orangtua?
Maka mari
nikmati kecurangan yang kita halalkan sendiri ini. Karena saat ini, saat libur
telah usai kita sudah harus kembali ke kontrakan kita yang gerah hawanya, atau
ke kost yang sumpek di lorong-lorong sudut ibukota, atau mulai menikmati
kembali macetnya Jakarta sembari menjalani program diet yang begitu kita taati.
Program diet yang begitu ketat kita patuhi, tanpa ada toleransi, sampai-sampai
mengalahkan kepatuhan kita untuk menjalankan perintah agama. Eeh …
*) ilustrasi gambar : pesonanusantara.co.id
*) ilustrasi gambar : pesonanusantara.co.id
Lamak bana
ReplyDelete