Menjaga Kewarasan dengan Nonton Dunkirk
Hentakan Blitzkrieg
Bop-nya Ramones yang menyertai last scene
Spiderman Homecoming, dimana saat itu bibi May sedang … (ah sudah lah ya,
jangan diteruskan) sempat memotivasi saya untuk bergegas menulis review manusia laba-laba versi Tom Holland ini.
Bagaimana tidak, perasaan campur aduk macam permen nano-nano timbul gegara
banyak kejutan muncul dalam film ini. Pokoknya gak rugi deh kalau kalian nonton
film ini. Tak heran juga IMDB mengganjar film ini dengan rating 8.0.
Tapi niat mulia
itu segera saja tertunda setelah Senin sore waktu setempat, didukung dengan
paket nomat (nonton-hemat), saya dan istri menonton ‘Dunkirk’. Ooh pasti anda
bisa segera menebak, apa motivasi saya menonton film ini. Jelas, karena sejak
seminggu yang lalu, banyak komentar dan artikel bersliweran di timeline membahas Dunkirk. Tak semuanya saya gubris, hanya saja ada satu kesimpulan yang
bisa ditarik. Bahwa film ini masuk kategori ‘a must see movie’! Udah, itu aja.
Tarik napas
panjang, hembuskan. Seraya mengucap dalam hati, “Alhamdulillah Gusti, kami disini masih diberikan kedamaian, gak sampai
harus perang..”. Itu adalah sekelumit ungkapan perasaan saya setelah keluar
dari ruang cinema. Bersyukur bahwasanya sampai hari ini, detik ini, kita disini
masih diberikan kenikmatan yang mahal harganya untuk saudara kita di Palestine,
atau di daerah konflik di Afrika sana atau daerah manapun yang sedang
berlangsung peperangan.
Siapa yang
suka dengan perang? Rasanya tidak ada. Dan kalaupun perang betul-betul meletus
seperti pada saat Perang Dunia II silam, akan banyak kita temui motivasi
masing-masing orang untuk maju ke medan pertempuran. Mulai dari yang murni tergerak karena rasa nasionalisme yang tinggi, atau mungkin terpaksa karena program wajib
militer, gengsi karena semua teman seumurnya sudah berangkat angkat senjata,
bergairah karena ingin membuktikan kejantanan sebagai seorang laki-laki pada
kekasihnya dan lain sebagainya.
Saat perang
berkecamuk, tak ada satupun yang bisa menjamin nasib dan nyawa kita. Bisa jadi
saat sedang berjalan santai, tiba-tiba saja harus berlari saat mendengar suara
letusan senapan. Jangankan berusaha untuk balik badan balas menembak, menoleh kebelakang
dan melihat siapa si penembak pun tak sempat. Yang penting lari dulu, cari
tempat persembunyian yang aman, baru kemudian dipikirkan harus berbuat apa.
Ini yang
dirasakan oleh Fionn Whitehead (Tommy) dalam adegan awal film. Dalam sekejap mata, semua temannya
tewas tertembak. Itulah perang.
Fionn Whitehead |
Christopher
Nolan memang jenius. Ia bisa menyajikan suasana mencekam dimana kita
seolah-olah merasakan situasi dan drama yang terjadi di layar kaca. Nolan pun
piawai dalam memainkan ritme sehingga kita betul-betul hanyut dalam alur cerita.
Ulah Nolan ini membuat saya teringat pada adegan di Interstellar, dimana saat Cooper (Matthew McConaughey) terlambat kembali ke pesawat hanya beberapa menit saja, tapi ia musti menerima
kenyataan bahwa teori relativitas khususnya soal perbedaan waktu antara dirinya
dengan bumi betul-betul terjadi. Ia menemukan bahwa anak-anaknya yang saat ia
tinggalkan masih kecil ternyata sudah berumur (dewasa).
Nyesek-nya itu bener-bener terasa gan…
Dalam Dunkirk,
kita bisa merasakan bagaimana kegundahan sang pilot Spitfire, Farrier (Tom Hardy) yang ragu apakah
ia akan berbalik kembali ke base karena bahan bakarnya sudah mau habis (ditambah
dengan kenyataan bahwa panel indikator-nya sudah rusak), atau melakukan manuver
untuk menghabisi pesawat pemburu yang mengincar ribuan tentara dibawah yang
sedang berusaha dievakuasi.
Atmosfir perang akan memberikan tekanan tersendiri pada seseorang yang berimbas pada munculnya sifat oportunis dan hilangnya akal sehat. Ini terjadi pada Alex (Harry Styles) yang memaksa, bahkan mengancam untuk membunuh Gibson (Aneurin Barnard) untuk turun dari kapal supaya mereka selamat.
Overall, Dunkirk
itu bagus. Dijamin anda tidak akan menyesal telah mengeluarkan sejumlah uang
untuk membeli tiket bioskop untuk menonton film ini. Seorang teman saya pernah
berkata, “film itu bagus apabila sesudah menontonnya kita bisa petik sesuatu
dari situ, entah hikmahnya atau hal lain”.
Tak banyak
hikmah yang bisa saya tarik dari Dunkirk, selain ungkapan rasa syukur yang saya
sebutkan diawal tadi. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan apabila diri
saya yang berada di medan pertempuran itu, dimana jantung pasti berdegup
kencang, harap-harap cemas, takut, khawatir dan lain-lain.
"Apa rasanya saat anda mendengar suara pesawat pembom datang yang pertanda mungkin saja ajal anda sudah dekat?" |
Maka saya
heran saat beberapa waktu yang lalu secara tak sengaja saya menemukan foto profil seseorang di medsos yang dengan
bangga mengenakan topeng dan berpose membawa senjata (terakhir terkonfirmasi
akun tersebut adalah personil yang terjerumus ISIS). Saya berpikir, apa iya si
orang itu betul-betul paham apa rasanya perang? Apa iya dia tahu bahwa disaat
kita melangkahkan kaki berangkat ke medan peperangan, anggota keluarga dirumah
terus menanti dengan berdoa tiada henti kepada-NYa memohon keselamatan atas
kita?
Saya sering
berkata pada teman saya bahwa kita rakyat Indonesia betul-betul patut bersyukur,
karena dengan beraneka ragamnya suku bangsa dan agama disini, kita masih bisa
hidup rukun dan damai berdampingan satu dengan lainnya dengan semangat
bhinneka tunggal ika.
Memang terdengar
klise, tapi nilai-nilai luhur semacam musyawarah mufakat itu patut
dipertahankan. Dengan beraneka warna dan sifat masing-masing kita, sudah
dipastikan friksi atau gesekan bisa
saja terjadi disana sini. Tapi dengan mengedepankan dialog terbuka yang guyub dan semangat kekeluargaan, niscaya
perang dengan angkat senjata akan menjadi opsi puaaliiingg terakhir.
Menang
kalah dalam peperangan tak akan menjadi apa-apa. Yang jelas terjadi adalah
kerusakan dimana-mana, baik itu bangunan atau manusia-nya. Kerusakan manusia pun
bukan hanya bicara luka fisik melainkan juga luka batin, semacam ketakutan atau
trauma yang melanda. Bukan tak mungkin kalau hal ini bisa berujung pada stress,
depresi bahkan bunuh diri karena tak sanggup mengingat-ingat momen dimana
desing peluru menembus kepala teman sejawatnya. Banyak film genre perang yang
menggambarkan momen psikologis seperti ini seperti Band of Brothers atau
Hacksaw Ridge.
Sejatinya menonton
Dunkirk akan menguji kewarasan kita. Bahwa sebenarnya kita masih ingin hidup
damai seperti sekarang, bebas berangkat ke kantor tempat bekerja, bebas
mengantarkan anak pergi ke sekolah, bebas makan di salah satu outlet foodcourt
di mall tanpa diliputi rasa was-was. Amit-amit deh kalau sampe terjadi perang disini...! (* komat kamit baca doa)
"Am definitely not a fan of One Direction, but Harry's performance is quite stunning" |
Oh ya,
apakah Dunkirk layak masuk salah satu nominasi Oscar? Entahlah, silahkan anda
sendiri yang menilai. Yang anda perlu lakukan adalah pergi ke bioskop dan
tonton film ini. Abaikan sejenak artikel yang berisi review tentang Dunkirk yang
sudah pernah anda baca (termasuk tulisan ini!). Tutup telinga anda saat
mendengar kritikan perihal film ini. Cukup duduk manis dan nikmati saja… []
Comments
Post a Comment