Posesif : Sebenarnya Film Sedih
Ingatan saya
jelek, sejelek-jeleknya ingatan. Terkadang saya ingat suatu pepatah atau
peribahasa tapi saya lupa dimana atau dari siapa saya mendengar pepatah
tersebut. Seperti halnya ungkapan berikut ini.
“Kita cenderung mudah dan sering menyakiti
mereka yang kita cintai.”
Saya
benar-benar lupa dimana saya pernah mendengar kalimat tersebut.
Yang pasti
ungkapan ini benar adanya. Bahwa kita cenderung mudah menyakiti orang-orang di
sekitar kita, orang-orang yang dekat dan kita cintai. Perilaku ini bisa jadi
disebabkan karena intensnya hubungan kita dengan orang yang kita cintai.
Misalnya keluarga. Kita menghabiskan hampir sebagian besar waktu kita bersama
keluarga. Maka jelas saja, friksi tak
bisa dielakkan. Hal-hal kecil atau sepele bisa menjadi masalah besar untuk
diperdebatkan.
Yudhis (Adipati
Dolken) menyadari itu. Dia tahu bahwa semakin dekat dan semakin lama ia berada
di sekitar Lala (Putri Marino), maka potensinya untuk menyakiti gadis itu akan
menjadi lebih sering. Dalam ilmu perawatan mesin, jarak rata-rata antara
kegagalan mesin (failure) dengan
kegagalan berikutnya disebut dengan istilah MTBF (Mean Time Between Failure). Semakin pendek rentang waktu MTBF maka
bisa dipastikan bahwa kerusakan mesin sudah parah dan harus ditangani lebih
lanjut. Yudhis masih duduk di bangku SMA dan tentu saja tidak mengetahui ilmu
perawatan mesin, walaupun pada salah satu adegan bersituasikan ruangan workshop lengkap dengan mesin bubut dan
mesin frais (milling).
Yudhis cukup
tahu, bahwa luka (failure) yang
dialami Lala akan bertambah frekuensinya selama mereka masih berhubungan. Ini
adalah impak dari anomali Yudhis, pemuda ganteng yang bisa bersikap manis dan
romantis, sekaligus bengis di saat yang hampir bersamaan. Dan ia tak ingin
melihat Lala hancur seperti halnya mesin yang mengalami kerusakan (breakdown). Maka ia tinggalkan Lala
dengan cara yang sungguh jauh dari definisi ksatria.
Dalam film
arahan sutradara Edwin ini, Yudhis memang ditampilkan sebagai sosok bad boy. Sosok pemuda yang posesif
terhadap pasangan dan tak jarang berbuat kekerasan kepada Lala. Anehnya, Lala tidak pernah bisa meninggalkan atau memutuskan Yudhis. Karena
tiap kali Yudhis menyakitinya, ia akan segera memohon-mohon meminta maaf dan
kadang dilakukan dengan cara yang dipastikan akan membuat gadis manapun luluh
hatinya. Konflik yang jamak terjadi pada remaja ini diolah dengan sangat apik
oleh Edwin. Sepintas memang film ini seolah-olah merupakan film percintaan
belaka. Nyatanya ada banyak renungan yang bisa diambil dari film ini.
Awalnya
penonton – termasuk saya – niscaya berdecak jijik melihat tingkah laku Yudhis
yang begitu ringan tangan tiap kali Lala berbuat sesuatu yang tidak sreg menurut Yudhis. Ruang sinema tempat
saya menonton kebetulan sangat lengang, hanya terisi 2 – 3 baris saja. Sehingga
saya bisa mendengar dengan jelas cibiran penonton di belakang kursi saya – Oh my God, ya ampun, oh shit, freak banget
dan sebagainya, termasuk istighfar. Menjelang ¾ bagian cerita, penonton akan
dibuat maklum oleh fakta bahwa kelakuan posesif Yudhis adalah disebabkan karena
interaksi antara ia dengan mamanya (Cut Mini) yang tak kalah brengsek.
Permakluman ini
dirasakan juga oleh Lala dan diwujudkan dengan tekad bulatnya untuk mengajak
kabur berdua Yudhis.
“Kita pergi ke Bali. Aku bisa mengajar
anak-anak loncat Indah dan uangnya bisa untuk kamu kuliah ya”. Oh oh, dengarkan
perkataan Lala. Saya suka. Perkataan visioner – dan polos yang lahir karena
cinta.
Hanya saja
saya kurang setuju dengan permakluman ini. Karena permakluman ini cenderung
menempatkan Lala sebagai korban akibat perlakuan Yudhis yang notabene juga
sebagai korban akibat perlakuan mamanya. Lingkaran setan. Berulang terus. Menular.
Pada titik ini saya justru merasa salut kepada Yudhis yang mengambil langkah
berani untuk memutuskan lingkaran setan tersebut dengan cara meninggalkan Lala,
seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan tadi. Ini adalah keputusan yang menurut
saya betul-betul didasari oleh rasa sayang.
Dan memang
sudah semestinya seperti itu. Yudhis bukan anak kecil lagi. Ia sudah cukup umur
untuk memanfaatkan akal sehat guna melawan trauma yang melandanya dan mengambil
keputusan logis. Saya tahu. Ini adalah teori yang gampang diucapkan. Sedangkan dalam
prakteknya hal tersebut sangat susah untuk diterapkan karena persoalan traumatik
tentu sudah berakar dan tertanam kuat di alam bawah sadar.
Film ini
menampilkan interaksi remaja sebagaimana lazimnya. Perjumpaan pertama,
ketertarikan yang mulai bersemi, chemistry
yang mulai terbangun hingga akhirnya jatuh hati. Lagu karya Dipha Barus featuring Kalulla – No One Can Stop Us sungguh pas diputar saat Yudhis dan Lala sedang
mabuk-mabuknya bercinta. Akting Adipati Dolken dan Putri Marino terlihat sangat
cair dan natural.
Film ini juga
menegaskan bahwa sifat labil, konsep pencarian jati diri itu betul-betul identik
dengan kehidupan remaja. Saya suka dengan adegan saat Ayah Lala (Yayu A.W.
Unru) mencuci piring bersama Lala. Di situ sang ayah dengan santai mengingatkan
Lala bahwa bukan dirinya yang perlu diyakinkan soal opsi Lala untuk kuliah di
Bandung, namun justru Lala sendiri yang harus diyakinkan. Hal ini terbukti
dengan kunjungan Yudhis ke rumah Lala untuk menjelaskan kenapa ia ingin Lala
ikut dengannya menempuh kuliah di Bandung. Momen ini menyadarkan Lala bahwa ia
sebenar-benarnya tidak ingin pergi ke Bandung.
Adegan ini mengingatkan
saya bahwa komunikasi antara orangtua dengan anak itu tricky, tidak gampang tapi juga tidak susah. Kita harus tahu timing yang tepat, pemilihan diksi yang
pas dan intonasi suara yang seimbang – tak menggurui pun tidak lembek.
Edwin memang
brilian. Saya katakan demikian karena ia menyuguhkan ending film yang multi tafsir. Lala menegaskan bahwa ia akan terus
mencari Yudhis dan menemukannya walaupun mereka telah putus. Yang terjadi
kemudian adalah ketegasan ini seakan lenyap – menguap di udara saat Lala
beranjak mulai move-on, mulai
beraktifitas seperti biasa, kembali sibuk dalam rutinitasnya berlatih loncat Indah
di kolam renang. Ditambah lagi dengan keputusannya untuk menghapus semua video
saat ia bersama Yudhis. Maka saat akhirnya mereka bertemu kembali di suatu
waktu selepas Shubuh, saya merasakan gejolak di otak saya, mencoba menafsirkan
pertemuan tersebut. Apakah Yudhis yang menemukan Lala atau sebaliknya. Raut wajah
Lala pun tak cukup membantu saya menjawab pertanyaan ini.
Film terakhir
yang saya tonton sendirian di bioskop adalah Hidden Figures, cerita soal tiga
wanita luar biasa yang memperjuangkan eksistensi dan kemampuan mereka saat
bekerja di NASA. Posesif juga saya
tonton sendirian. Ini adalah konsekuensi yang harus saya ambil demi untuk
membuktikan perbincangan di luar yang mengatakan bahwa film ini masuk dalam kategori
‘a must seen movie!’.
Sehingga lahirlah
tulisan ini sebagai pembuktian. Tulisan ini juga saya suguhkan untuk istri saya
yang merasa tidak wajib untuk menonton film ini karena merasa ini hanya sekedar film abege. Semoga ia
faham. Bahwa kata bagus tidak cukup untuk film ini. Bahwa film ini patut untuk
bersaing ketat dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2017 nanti walaupun sempat
menuai kontroversi.
Dan bahwa sebenarnya
Posesif adalah film sedih. []
** sumber foto : muterfilm.id
Comments
Post a Comment