Belajar dari Dongeng Negeri Bola
Akhir pekan kemarin
adalah matchday ke 13 Liga Premier Inggris. Seperti biasanya saya cek situs
livescore untuk mengetahui update skor pertandingan terkini. Maklum, saya tidak
berlangganan tv kabel. Bedanya kali ini saya tidak mencari update skor
pertandingan klub-klub besar seperti Manchester City, MU atau Arsenal. Kali ini
saya mencari skor pertandingan AFC Bournemouth. Ternyata seri. Skor kacamata
lawan Swansea City. Bournemouth sendiri saat ini bertahan di posisi 13 klasemen.
“Bertempat tinggal di Bournemouth adalah
sebuah kesengajaan untuk tidak berbuat apa-apa.”
Kalimat di
atas saya kutip dari buku Dongeng dari
Negeri Bola karya terbaru Yusuf ‘Dalipin’ Arifin. AFC Bournemouth adalah
klub yang lahir di kota yang selow,
santai. Ritme kehidupan mereka tidak terburu-buru. Boleh dikatakan mereka
seperti tidak punya ambisi, hidup mengalir saja tanpa ada tuntutan yang tinggi.
Kota yang terletak di pesisir pantai bagian Inggris Selatan ini cocok sekali
untuk mereka yang memang berencana liburan. Tetirah
istilah yang dipakai – bepergian alias plesir.
Imbasnya adalah mereka tidak terlalu peduli dengan klub sepakbola di kota
tersebut. Sekadar ada saja. Berprestasi syukur, tidak juga tak apa. Peduli setan.
Demikian adalah gambaran umum tentang AFC Bournemouth. Nyatanya sekarang mereka
masih bertahan, bergelut di level teratas liga domestik, Premiere League sejak
tahun 2015.
Saya teringat
sesuatu. Anak-anak saya punya kebiasaan khusus. Tiap malam mereka selalu
meminta saya mendongeng, tak peduli apakah saya sedang lelah akibat meeting seharian penuh atau mengantuk.
Dongeng apa saja. Bisa baca buku cerita atau komik. Pokoknya dongeng sebelum
tidur. Mereka akan mendengar dan menyimaknya sebelum akhirnya terlelap.
Demikianlah
dongeng. Disimak dan didengarkan. Dipelajari? Belum tentu. Karena namanya
dongeng, bisa fiksi atau non fiksi. Pernah suatu kali saya membacakan cerita
entah dari buku apa saya lupa. Sampai akhir cerita, saya tak mampu menemukan
sedikit pun faedah yang ingin disampaikan dalam cerita tersebut. Beruntung anak-anak
sudah mengantuk sehingga mereka tidak bertanya-tanya lebih lanjut soal cerita
nir-faedah itu. Tapi kalau Dongeng Dari
Negeri Bola karya Sir Dalipin ini rasanya pantas ditelaah dan dikupas lebih
dalam. Saya belajar banyak hal dari buku mungil ini, termasuk soal Bournemouth
yang dijelaskan diatas.
Awalnya Visi
Saya belajar
soal visi. Pelajaran ini saya dapatkan dari visi Huw Jenkins yang mulai menata
Swansea City sejak tahun 2003. Visi yang sederhana dan tidak muluk-muluk. Dimulai
dari mempertahankan posisi di liga, menarik lebih banyak penonton, menambah
sedikit demi sedikit pendapatan klub. Termasuk juga membenahi stadion. Itu pun
mulai dari kapasitas 20 ribu saja, tidak lebih. Visi yang dijalankan dengan
perlahan namun pasti.
Namanya visi,
bisa dijalankan dengan cara apapun. Asal muasal visi pun beraneka ragam. Ada juga
visi yang berangkat dari rasa dendam seperti yang terjadi pada Brian Clough. Pelatih
asal Inggris yang berhasil menjuarai liga dengan dua klub yang berbeda, Derby
County dan Nottingham Forest ini tersinggung dengan Don Revie, manajer Leeds
United yang menolak untuk minum anggur bersamanya setelah pertandingan. Sejak saat
itu Clough selalu menganggap Revie sebagai rivalnya. Puncaknya, Clough berhasil
menggantikan Revie untuk menangani tim Leeds United. Sayangnya ia hanya bertahan
44 hari saja di Leeds. Bukan, cerita ini bukan saya ambil dari buku Sir
Dalipin. Cerita ini dirangkum dengan apik dalam film the Damned United produksi
tahun 2009.
Brian Clough |
Visi juga
diterjemahkan oleh Brendan Rodgers dengan proposal setebal 180 halaman saat
diberi amanah untuk menangani Liverpool. Entah apa saja yang ditulis Rodgers
dalam setumpuk dokumen setebal itu. Yang pasti, dokumen proposal ini menandakan
kesiapan Rodgers untuk menjalani pekerjaan yang tidak ringan. Ia telah
mempelajari dengan betul apa saja kekurangan dan kelebihan Liverpool, filosofi
dan gaya bermain klub termasuk karakter dari masing-masing punggawanya. Detail
sekali. Saya terkesima dengan apa yang dilakukan Rodgers walaupun kini ia pun
telah lengser dan digantikan oleh Juergen Klopp.
Visi (dan
misi) suci untuk membangun tim yang solid dan berkarakter ini juga yang saya
yakini ada dalam benak pelatih idola saya, Pep Guardiola. Komitmen pada visi ini
yang membuat Pep tahan menghadapi segala macam kritik dan cemooh saat menjalani
musim pertamanya di Inggris dengan predikat baru; nir-gelar. Toh hasil ketahanannya mulai ia tunai musim 2017-2018 ini.
City dua belas kali meraih kemenangan dan hanya sekali seri selama 13 pekan.
Lalu Kapal Uap
Liverpool sempat
merasa berang saat Manchester memutuskan untuk membangun kanal yang
menghubungkan kota mereka langsung dengan laut. Impaknya adalah jalur
pengiriman barang tidak lagi harus melalui Liverpool dan bisa langsung ke
Manchester. Perseteruan bidang ekonomi ini yang menyeruak di permukaan. Padahal
sebenarnya, kapasitas pelabuhan Liverpool memang tidak mampu mengakomodir kapal
uap yang saat itu mulai berkembang.
Kanal Manchester
mampu menampung vessel dengan panjang
maksimum 161.5 meter dengan lebar (beam) maksimum 19.35 meter. Dimensi kanal
ini tentu tepat untuk mengakomodasi kapal uap yang memiliki spesifikasi besar
dan lebar, karena kapal uap jaman dahulu masih menggunakan teknologi boiler
konvensional.
Soal kapal
uap, persaingan usaha dan pelabuhan ini dijelaskan juga dalam buku ini. Sebuah
akar perselisihan antara Liverpool dan Manchester yang mungkin luput dari
wawasan kita. Termasuk juga perseteruan abadi antara Tottenham Hotspurs dan
Arsenal. Siapa sangka bahwa semua itu bermula dari stasiun kereta api. Stasiun Gillespie
Road diminta untuk diubah namanya menjadi Stasiun Arsenal pada tahun 1932.
Penggantian ini ditujukan untuk mengukuhkan asosiasi kewilayahan Arsenal
setelah mereka pindah dari Plumstead. Tentu saja hal ini tidak mudah. Tottenham
yang sampai saat ini merasa bahwa Arsenal hanyalah kaum pendatang, bukan
penduduk asli seperti halnya mereka menentang habis-habisan rencana penggantian
nama ini. Sayang usaha mereka gagal. Hasilnya seperti yang kita saksikan
sekarang, derby panas kota London yang tak kalah serunya dibandingkan dengan Madrid versus
Barca di Spanyol.
Juga Soal Agama
Siapa sangka
bahwa saya juga mendapatkan pelajaran ekstra soal agama dari buku ini. Bukan
pada bab yang berjudul "Gereja (Anglikan) vs (Agama) Sepakbola". Melainkan pada
bagian "Leicester City, Ketidaksetaraan dan Canis Major". Pada bab tersebut, mas
Yusuf mengatakan bahwa agama secara halus mengatakan bahwa kesetaraan tidak
termungkinkan. Saya mengamini hal ini. Agama saya, Islam memang mengajarkan
bahwa semua manusia adalah sama kedudukan di hadapan Sang Pencipta. Hal ini
berarti kesetaraan dalam hal hubungan vertikal keatas. Sedangkan dalam hubungan
horizontal – sesama manusia – kita ketahui bahwa pada hakikatnya memang
masing-masing kita diciptakan dalam kondisi yang berbeda-beda. Maka dari itu
diserukanlah mekanisme zakat dan shodaqoh untuk mengatasi kondisi
ketidaksetaraan tersebut. Yang kaya berbagi dengan yang miskin, yang
berkelebihan berbagi dengan yang kekurangan.
Tak cukup rangkuman seribu kata untuk menjelaskan soal buku ini. Saya selalu
mengagumi tentang bagaimana sepakbola bisa dikemas dalam bentuk tulisan yang
tidak melulu bicara statistik; berapa persen ball possession, berapa jumlah pass-completed
dan segala tetek bengek data tersebut. Maka buku Dongeng dari Sir Dalipin ini
bisa saya jadikan rujukan dalam belajar menulis tentang sepakbola. Karena sampai
saat ini, yang terpikir oleh saya hanya bagaimana menulis soal hubungan hoodie dan sepatu casual yang dikenakan Guardiola dengan performa garang City di
musim ini. []
Comments
Post a Comment