Mourinho dan Kisah Lainnya
Ferran Soriano, mantan presiden Barcelona yang sekarang memimpin Manchester City ingin menunjukkan bagaimana memimpin sebuah tim dalam lingkungan yang penuh tekanan berat dan bahwa pilihan yang kau ambil dalam kondisi tersebut bakal memiliki efek jangka panjang terhadap bisnis. Itu yang dikatakan situs Goodreads soal buku Soriano yang terbit pada 2009 silam dengan judul The Ball Doesn’t Go in By Chance. Ya, kamu bisa menerjemahkannya seperti ini : “bola tidak akan masuk ke dalam gawang secara kebetulan”. Lalu secara biadab, Jonathan Liew kolumnis the Guardian menyebut partai Tottenham Hotspurs versus Manchester City pada 02 Februari silam sebagai sekuel dari buku Ferran Soriano itu. “By chance, the ball doesn’t go in”, begitu tulis Liew. Dengan berbagai cara dan kesempatan, bolanya tidak masuk-masuk, kira-kira demikian maksud Liew.
Sesaat saya berpikir kalau
Liew ini adalah suporter Liverpool yang entah-bagaimana-caranya ia bisa lolos
seleksi jurnalis Guardian. Tapi tentu saja Liew mengatakan fakta yang sebenarnya.
Apalagi jika kita melihat data statistik pertandingan tersebut. City melepaskan
tembakan sebanyak 19 kali dan tak ada satupun yang menembus gawang Hugo Lloris.
Sementara Tottenham hanya melepaskan 3 kali tembakan, dua di antaranya berbuah
gol.
Ironis? Tidak, sama sekali tidak. Kecuali kalau anda lupa bahwa ada
Mourinho di pinggir lapangan Tottenham. Pertandingan Tottenham vs City tersebut
hanya mempertegas karakteristik Mou : pragmatis, tak perlu banyak menguasai
bola, yang penting hasil akhir.
Sejuta orang akan memaki-maki gaya permainan
yang diusung Mourinho ini. Lalu sejuta orang yang lain akan memuji-muji
Mourinho, sejelek apapun, seburuk apapun, sehina apapun permainan tim yang ia
suguhkan. Pro kontra gaya Mourinho ini niscaya tak akan berkesudahan, layaknya
konflik bubur ayam diaduk versus tidak diaduk.
Saya tidak nonton langsung
pertandingan Tottenham vs City. Saya tidak buka-buka situs skor untuk
mengetahui hasil pertandingan tersebut. Terus terang, saya malah baru tahu ada
pertandingan di London itu. Saya tahu hasil pertandingan tersebut lewat
instagram. Seorang senior, seseorang yang saya kagumi karena stamina dan fisiknya
yang luar biasa dalam olahraga lari, seseorang yang saya ketahui punya
determinasi tinggi manakala ia punya target yang ingin dicapai, memposting stori
tentang kemenangan Tottenham atas City tersebut.
Senior saya ini adalah seorang
tipikal engineer sejati. “Engineer selalu bicara berdasarkan data”, demikian
ujar salah satu dosen saya semasa kuliah dulu. Rupanya hal ini diterapkan
dengan sungguh-sungguh oleh senior saya tersebut. Dia sering membagikan
catatan-catatan waktu latihan larinya sekaligus kalkukasi dan analisa detail
tentang data-data tersebut. Dan malam itu, dia bagikan stori tentang kemenangan
Mourinho yang kesekian kalinya atas sang rival Pep Guardiola. Dan malam itu,
dia bagikan stori tentang kemenangan Mourinho yang kesekian kalinya atas sang
rival Pep Guardiola, berikut data statistik pertandingan. Dan malam itu, dia
bagikan stori tentang kemenangan Mourinho yang kesekian kalinya atas sang rival
Pep Guardiola, berikut data statistik pertandingan, dengan embel-embel betapa
ia mengagumi pujaannya tersebut.
Dan malam itu, saya punya
penilaian lain terhadap senior tersebut.
Beruntung, buku Sepakbola Tak
Akan Pulang karya Mahfud Ikhwan ini tidak berisi puji-pujian pada sosok
Mourinho. Bahkan Mahfud dengan cerdasnya menulis, “Mou adalah gambaran sempurna
tentang seorang bajak laut ganas yang menyatroni sebuah kerajaan kaya di
pesisir: ia datang dalam gelap, merampok dan merusak, kemudian menghilang
kembali ke tengah samudera.” (halaman 68). Sungguh, menurut saya ini adalah
pernyataan paling sopan tentang reputasi seorang Mourinho abad ini.
Buku ini berisi kumpulan
tulisan Mahfud yang dimuat di Geotimes antara 14 Juli 2018 sampai 29 Mei 2019.
Buat saya, buku ini seperti menelanjangi keburukan-keburukan Mourinho.
Sekaligus juga bentuk penyesalan, kenapa sebuah klub dengan histori kejayaan
yang panjang semacam Manchester United bisa terpikat dengan seorang Mourinho.
Sekurangnya, Mahfud membahas dan menganalisis detil tentang performa Mourinho
dalam 4 artikelnya.
Tentu saja ada banyak
cerita-cerita lain di buku ini. Mahfud juga menunjukkan bagaimana piawainya ia
menujum beberapa hal. Seperti misalnya soal kemungkinan (kembali) gagalnya
Liverpool menjadi juara di musim 2018-2019 kemarin. Oh, atau sebenarnya tidak
butuh kemampuan khusus untuk menebak hal sepele itu ya ... Walaupun penampilan
Liverpool pada musim itu begitu konsisten sampai paruh musim, tapi dewi fortuna
memang belum ingin singgah ke Anfield.
Namun rasanya, penantian panjang Kopites
akan berakhir musim ini. Kecuali terjadi perang dunia ketiga, Liverpool diprediksi
bisa mengunci gelar juara pada 22 Maret yang akan datang. Hal ini disimpulkan
oleh detikcom setelah Liverpool mengalahkan Norwich City 1-0 dan masih memimpin
25 angka di atas Manchester City yang berada di posisi dua klasemen.
Hal lain yang diprediksi
Mahfud di buku ini adalah tentang bagaimana akhirnya Maurizio Sarri dipecat
dari kursi kepelatihannya di Chelsea. Sedari awal Mahfud mengingatkan bahwa
sepakbola kaku dan keras kepala ala Sarri tidak akan bertahan lama. Atau
mungkin, Abramovic sang empunya Chelsea bahkan tak mampu melihat bagaimana gaya
sepakbola yang diusung oleh Sarri?
Mourinho dan Guardiola adalah
magnet dalam dunia sepakbola kiwari. Sekali tertarik ke salah satu kutub, niscaya
kau akan kesusahan untuk berpindah ke kutub yang lain. Bicara keburukan
Mourinho akan selalu sama menyenangkannya dengan mengingat-ingat segala
kejayaan Guardiola. Mourinho penuh dosa dan Guardiola adalah malaikat. Akan selalu
begitu. Karena pada hakikatnya, sepakbola juga soal cinta dan benci.
“Mereka tidak tahu apa-apa. Coba
sekali-kali tanyakan pada mereka, apakah mereka tahu bahwa klub idola mereka itu
bukan klub asli kota Roma. Klub mereka itu bentukan dari tiga klub. Yang mereka
bisa lakukan yaa hanya itu, teriak-teriak seperti kaleng rombeng!”, demikian
seloroh salah satu kawan saya ketika kami berbincang-bincang tentang literasi
dan sepakbola. Tak perlulah saya beritahu, klub mana yang ia maksud.
Cinta dan benci akan selalu
eksis di sepakbola. Elio Di Cristofalo, pemuda tanggung berusia 25 tahun,
memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah saga transfer Vieri dari Lazio ke
Inter pada 1999 silam. Pemuda malang itu, Di Cristofalo mungkin terlalu cinta
pada klub idolanya hingga tak kuasa memaafkan Vieri yang pindah ke Inter dengan
pinangan 30 juta poundsterling.
Vieri bukannya tidak cinta pada Lazio, tapi
mungkin ia akan lebih cinta pada Internazionale yang menyanggupi untuk membayar
gajinya sebesar 3.1 juta poundsterling tiap tahun, setelah dipotong pajak. Dan Lazio
bukannya tidak cinta pada Vieri, tapi pihak manajemen klub tentu benci demi
melihat laporan keuangan dengan neraca laba-rugi yang tidak seimbang.
Senorak apapun tingkah laku
seorang fans sepakbola, tidak akan senorak perilaku mereka yang tidak sabar
untuk bergegas menyalakan ponsel ketika roda pesawat terbang baru saja mencium
landasan pacu bandar udara. Senorak apapun fans sepakbola, itu dilakukan atas
dasar cinta (dan benci).
Mahfud Ikhwan juga tak
menutupi hal tersebut. Ketika menyesalkan Liverpool yang tidak punya seorang
pengatur permainan (halaman 151) sembari membandingkan Van Dijk dengan Pirlo,
sekejap saya langsung tahu bahwa Pirlo yang dimaksud oleh Mahfud bukanlah Pirlo
Juventus. Melainkan Pirlo versi AC Milan. Membaca tuntas buku ini akan membuat
anda mengetahui dengan mudah, betapa Mahfud benci Inter cinta AC Milan. Dan
mungkin ia akan sedikit bersorak gembira, ketika semalam Sergej
Milinkovic-Savic membungkam pasukan Antonio Conte. []
Comments
Post a Comment