Dedi untuk Arya
Mereka belum datang juga. Sementara es kopi susu yang aku pesan tadi
sudah mulai berubah bentuk, mereka belum datang juga. Bukan salah mereka
sebenarnya, aku saja yang datang terlalu cepat ke kafe ini. Meeting di kantor siang tadi rupanya
selesai lebih cepat dari dugaanku, bagian sales dan marketing sama sekali tidak
berani membantah tiap argumen yang aku lontarkan dan mereka berjanji untuk
secepatnya merevisi target penjualan tahun depan. Terus terang aku ragu, apakah
mereka menerima koreksi dan masukan dariku karena memang masih banyak cacat di
rencana penjualan yang telah mereka buat, atau hanya sungkan kepadaku, sang
direktur utama sekaligus pendiri PT. Arya Megah Abadi?
Sempat aku emosi tadi. Aku gebrak meja ketika menemukan posting biaya
marketing dengan nominal angka yang fantastis. Edan. Buat apa saja itu? apalagi
seharusnya mereka tahu, kalau aku sangat benci dengan hal-hal semacam itu. Padahal
aku sudah ingatkan berulang kali kepada semua staf, bahwa perusahaan ini aku
bangun dengan mengutamakan profesionalisme. Sebisa mungkin aku hindari
cara-cara praktis untuk menjalin hubungan dengan klien. Aku memupuk kepercayaan
dengan hasil kerja nyata, bukan sogokan. Dengan jerih payahku selama 10 tahun
terakhir, perusahaan bisa berkembang seperti sekarang. Itu karena kerja
kerasku, keringatku, staminaku, aku, aku, semuanya aku.
Nah kan, mulai lagi, keluar lagi
sifat aroganmu, Arya! Karena ‘aku’? Siapa kamu, siapa aku Arya, ayo jawab!
Oh ya, pertama perkenankan aku untuk memperkenalkan suara yang ditulis
dengan huruf miring di atas. Suara itu adalah suara Dedi. Siapa Dedi? Ia adalah
nama yang aku berikan pada suara tadi. James oke juga, tapi terkesan terlalu western. Raharjo? Hmm bisa juga, tapi
rasanya Dedi tak akan suka dengan nama tersebut. Aku memang lahir di Solo, tapi
apa otomatis Dedi juga adalah orang jawa juga?
Anyway, Dedi muncul beberapa
tahun yang lalu. Aku lupa kapan persisnya. Yang pasti, ia sering muncul di saat
aku tengah bingung untuk mengambil sebuah keputusan penting. Dan biasanya, Dedi
berperan sebagai protagonis. Ia adalah suara-suara yang mewakili kosa kata
baik, sabar, rendah hati, hormat, tenggang rasa dan lain-lainnya. Atau kau
ingin menambahkan?
Aku memang baik, Arya. Bukan
mewakili kata baik. Bagiku, baik bukan hanya sekedar kata, tapi mengendap di
tiap-tiap kata itu sendiri, melebur jadi satu. Kau pasti tahu kan…
Ya ya, aku tahu. Tak usah cerewet lah! Terbukti memang beberapa kali
suaramu – Ded – menyelamatkanku dari beberapa hal buruk. Pernah suatu kali, si
Dedi ini begitu bawelnya memperingatkan aku soal transaksi bisnis yang sedang
aku lakukan. Ini pelanggaran loh, katanya. Dedi makin cerewet ketika aku
mengetahui bahwa ada beberapa aliran dana yang dialokasikan untuk ‘orang
dalam’. Walaupun partner bisnisku sudah mengingatkan bahwa hal itu adalah hal
yang biasa saja di dunia ini. Waktu itu aku cuma tersenyum kecut mendengar
perkataan partner bisnisku tersebut. Bukan soal praktek yang biasa terjadi di
dunia bisnis, bukan. Bukan soal itu. Itu sih semua orang juga tahu, dan
memaklumi praktek tersebut.
Hanya saja aku merasa lucu dengan cara si partnerku menjelaskan kepadaku.
Mulutnya berbusa-busa, seringai licik sesekali tampak, seolah-olah yang sedang
bicara padanya adalah anak kemarin sore yang baru saja mulai bisnis dengan
modal dari orang tua konglomerat.
Kembali soal Dedi, tahukah kau, menurutku Dedi ini hanyalah manifestasi dari teori kebalikan.
Galen dari Yunani Kuno pernah mendefinisikan sebuah aksi reaksi; air versus
api. Keduanya berlawanan dan saling mematikan satu sama lainnya. Menurutku,
teori Galen seketika runtuh saat api melahap karya-karya Isaac Newton yang
mengkaji soal optik dan agama.*) Air, rival si api sepertinya memilih absen
supaya karya-karya Newton tersebut musnah. Kata siapa api itu jahat dan air itu
baik?
Jadi, daripada air lawan api, beberapa hal ini – menurut hematku -- lebih
pantas dalam posisi berpasangan, berlawanan, oposit. Hujan dan kemarau, hitam
lawan putih, senang versus sedih, baik lawan buruk, dan Dedi versus sisi jahat
Arya. Yin dan yang. Dunia memang butuh hal-hal yang berlawanan bukan? Kalau
yang aku sebut itu semua absen, catur tidak akan pernah ada, kemarau panjang
tak berkesudahan karena hujan enggan turun, orang-orang akan muram sepanjang
hari tanpa pernah merasa gembira, dan tentu saja, syaitan akan makan gaji buta.
Memang sisi jahatmu yang harus aku
lawan, Arya. Atau barangkali perlu aku ingatkan, kalau Boss Besar yang suruh
aku menemani kamu? * smile
Inilah satu hal yang aku benci dari kamu, Ded. Kau begitu mudah membaca
isi hatiku, sementara aku terbata-bata menerka apa yang akan berikutnya
meluncur dari mulutmu.
Karena aku baik, Arya. Beberapa
kali sudah aku beritah, ketika kau baik, distorsi akan semakin minim. Kau bisa
membaca sesuatu hal dengan jernih dan bebas polusi.
Begitu ya? Jadi seandainya kau tidak ada, apakah berarti setiap keputusan
yang aku ambil itu sudah pasti buruk? Bagaimana dengan ketika aku memutuskan
untuk menyumbangkan nyaris sekitar 30 persen keuntungan perusahaanku untuk membantu
biaya pembangunan pondok pesantren di kampung belakang rumah? Seingatku, waktu
itu kau diam saja. Tak bersuara sedikit pun.
Haruskah perdebatan ini kita
selesaikan sekarang? Karena orang-orang yang hendak kamu temui sudah datang.
Iya itu, mereka berdua yang sedang berjalan ke arah sini.
Oke, kita lanjutkan lain kali. Tapi percayalah, bukan berarti aku tak
suka dengan kehadiranmu, Ded. Justru pada saat ini aku minta kau standby. Jangan pergi ke mana-mana! Aku
tak percaya pada kedua orang ini. Proposal bisnis yang mereka ajukan nyaris tak
ada cela, tapi justru di situ aku curiga. Terlalu sempurna. Aku tidak suka.
Mungkin agak berlebihan, tapi itu yang aku rasakan. Nanti juga kau mengerti.
Baiklah, kamu juga tahu kok, kalau
aku selalu di sini.
***
“Hey, Mehdi…! Lihat …”
“Oiiy… apa?”
“Lihat itu pak Arya. Hihihi…”
“Kenapa lagi dia?”
“Kau tahu, jadi apa sekarang dia?”
“hmmmm…. Bajak laut?”
Sejujurnya aku sedang malas melayani kawanku si Toni ini. Ia pasti sedang
menertawakan tingkah laku pak Arya.
“Bukan, bodoh! Bajak laut itu cerita minggu lalu. Sekarang dia jadi seorang
eksekutif muda! Coba lihat bagaimana ia cara ia memakai setelah kemeja lengkap
dengan dasinya. Oh oh, lihat cara ia duduk. Sepertinya ia sedang menyimak orang
lain yang sedang presentasi suatu bisnis kepadanya. Tuh kan lihat, mukanya
berubah serius sembari mencoret-coret di kertas. Hihihii….”
Karena Toni sudah mendeskripsikannya dengan jelas, maka aku cukup menoleh
sebentar ke arah meja tempat pak Arya berada. Lima detik saja, sebelum aku
kembali tenggelam dalam catatan rekapitulasi persediaan obat.
“Ya biar saja Ton. Masih mending ia berperan jadi seorang businessman. Siapa tahu kalau dia
sukses, kau bisa minta persekot padanya! Wkwkwkwkk ….”
“Ah kau ada-ada saja… Persekot apanya… Yang ada nanti aku dikasih
berlembar-lembar daun kelor! Hahaha…”
Membicarakan perilaku unik pasien memang jadi variasi dalam kejenuhan
pekerjaan kami. Pak Arya adalah salah satu pasien yang menarik perhatian dokter
di sini. Belum genap setahun ia masuk. Kadangkala aku berpikir, dia itu
sebenarnya waras. Beberapa kali aku sempat beradu pandang dengan matanya, dan
kadang itu membuatku takut. Merinding. Aku merasa, ia bisa membaca pikiranku
dan berkata, “hey Mehdi, apa kau juga berpendapat kalau aku gila, seperti apa
yang dikatakan oleh teman-temanmu?”
Kalau sudah begitu, aku tak sanggup berlama-lama dengan pak Arya. Toh
juga bukan kewajiban aku untuk berkeliaran di sekitarnya. Kadang-kadang saja
aku membantu Ira, suster bahenol yang ditaksir oleh Toni. Ira adalah perawat
yang sudah di-plot untuk terus melayani pak Arya.
Suatu hari Ira harus ijin karena orangtuanya datang dari Jepara. Maka di
hari yang naas itu, aku yang diminta untuk menemani pak Arya. Aku heran, kenapa
bukan Toni yang ia minta untuk menggantikannya. Dan saat itulah pertama kalinya
aku bicara dengan pak Arya.
Awalnya ia mengaku kalau ada suara-suara yang terus mengganggu di kepalanya.
Suara seperti apa pak, tanyaku. Nada suara aku atur sedemikian datarnya, supaya
tak terlihat kalau aku tertarik dengan pembicaraannya. Taktik.
Kemudian ia bercerita bahwa suara-suara itu selalu menyerukan hal-hal
baik. Suara itu suara Dedi katanya (aku tak tahu dan tak mau tahu kenapa
dinamakan Dedi). Dedi bilang begini, Dedi bilang begitu, seolah-olah dirinya
memang perlu Dedi sebagai penuntun, guide
untuk berbuat baik.
“Tapi bukankah itu hal yang bagus pak Arya? Suara itu…maksud saya Dedi
ada karena ia peduli dengan bapak…”
“Ya, tapi saya benci dia. Awalnya dia begitu perhatian kepada saya.
Setiap pertanyaan saya ia jawab dengan mudah. Belakangan, ketika saya mulai
bertanya-tanya soal kehidupan, dia selalu menjawab pertanyaan dengan balik
melontarkan pertanyaan. Menurut kamu bagaimana Arya, begitu terus.
“Soal kehidupan? Maksudnya?”
Oke, aku bisa merasakan cerebrum-ku
mulai hangat. Aku butuh kopi. Dan Toni. Brengsek. Bocah itu selalu memilih
waktu yang tepat untuk menghilang.
“Ya kehidupan… Dedi selalu bilang bahwa semua sudah diatur oleh Boss
Besar. Kita tinggal menjalani saja. Kau percaya itu? Awalnya saya tak begitu
menggubris apa yang dibilang oleh Dedi. Tapi tiap kali saya mendaku bahwa
karena saya, orang tua saya bisa naik haji, bahwa karena saya, adik saya bisa
meneruskan kuliah, bahwa karena saya, si mbok tukang masak di rumah bisa
melunasi biaya perawatan cucunya yang sakit radang paru-paru, semuanya! Lalu
dia, si Dedi bilang bahwa itu bukan saya yang berbuat! Kau percaya itu?”
Aku cuma bisa terdiam mendengarkan penjelasan pak Arya. Terus terang aku
benci pembahasan soal ini. Oh sorry, ralat. Terus terang aku benci membahas
soal ini, soal kehidupan dan segala keteraturan dan ketidakaturan di dalamnya,
dengan seorang pasien RS jiwa.
Lalu pak Arya akan tersenyum saja, demi melihat wajah dongok yang aku
perlihatkan. Dan saat itu, adalah saat di mana ia memandang dalam ke arah
mataku. Jadi, menurutmu aku tidak gila kan, Mehdi? Mulutnya terkunci rapat,
tapi aku yakin ia mengatakan itu.
Entahlah. Temanku pernah mengatakan bahwa hijab antara gila dan jenius
itu tipis. Dalam riwayat hidupnya yang aku baca, pak Arya adalah lulusan
perguruan tinggi ternama, baik untuk gelar strata satunya maupun gelar
magisternya. Dia juga sempat bekerja di sebuah perusahaan teknologi, sebelum
akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja dan pergi ke Turki. Tiga tahun
setelah pulang dari negara itulah, pak Arya mulai banyak berdiam diri di rumah.
Sampai pada suatu hari tetangga-tetangga mendengar pak Arya kerap
meraung-raung dan menangis di malam hari. Seseorang – entah siapa – mulai
berteriak menyebut pak Arya kerasukan, seseorang yang lain berseru menyebut pak
Arya gila dan akhirnya, tetangga-tetangga yang terpengaruh teriakan dan seruan
kedua orang tersebut memutuskan untuk menggelandang pak Arya ke rumah sakit
ini. Anehnya, pak Arya sama sekali tidak melawan praktik barbarisme itu. Aku
pribadi tidak setuju, tapi mau bagaimana lagi. Aku yang hanya seorang staf logistik
di rumah sakit milik pemerintah daerah ini jelas tidak punya hak suara.
Mirisnya lagi, hampir tak ada satupun anggota keluarga pak Arya yang datang
menjemputnya.
Siapa Dedi? Kenapa dia begitu menghantui pak Arya? Hal-hal baik? Apa yang
dimaksud oleh pak Arya itu hati kecil? Apakah Dedi itu bentuk jasmani dari hati
kecil? Kalau memang Dedi baik, kenapa ia sampai tega membiarkan majikannya
masuk rumah sakit jiwa?
Aku benci ketika pertanyaan-pertanyaan ini muncul. Aku menyesal kenapa
bersedia menggantikan Ira menjaga pak Arya hari itu. Aku perlu kopi. Memikirkan
perbincangan dengan pak Arya sempat membuatku melupakan minuman favorit
tersebut untuk beberapa hari. Gila. Sepuluh hari tepatnya. Sepuluh hari tanpa
kopi. Karena aku sibuk memikirkan pak Arya.
Tapi kamu sadar kan bahwa yang ia
ceritakan itu benar, Mehdi?
Hah?
***
catatan :
*) dikutip dari Bab 20 : Kebakaran, Perang, dan Insiden Lainnya; Penghancuran Buku oleh Fernando Baez
Comments
Post a Comment