Menafsirkan Hakikat Musik dengan Teknologi Tabung (Part 1)
Sepertinya
perkara musik memang sedang dirajut benang merahnya oleh Tuhan di kepala saya.
Baru dua hari yang lalu, tiba-tiba saja saya ingin menyelesaikan buku “Pop Kosong
Berbunyi Nyaring” karya mas Taufiq Rahman, seorang penggila musik sekaligus
pendiri situs Jakartabeat.net. Buku ini sebenarnya sudah nangkring di rak buku
sejak tahun lalu, sedangkan saya malah asyik dengan buku-buku lain untuk
dibaca. Ya anda tahu, tipikal penyakit kutu buku, beli buku, baca sedikit lalu
timbun ke lemari, beli buku lagi dan lagi, begitu seterusnya.
Entah kenapa
saya begitu menikmati tulisan Taufiq soal bocoran menikmati akhir zaman dengan
mendengarkan suara sengau Chris Cornell (almarhum). Atau essainya yang
memaparkan tentang betapa sopan dan baik-baiknya grup band The Walkmen pada
saat mereka membubarkan diri dan berfoto bersama dengan istri dan keluarga
masing-masing, lengkap dengan pakaian jas dan gaun pesta. Itu baru sedikit
perkara musik yang saya alami melalui buku bacaan.
Tak berapa
lama kemudian, saya menemukan postingan Phillips Vermonte (benang merah masih
terajut karena Phillips adalah co-founder Jakartabeat bersama Taufiq) di media
sosial soal toko audio produk lokal di Senayan Trade Centre (STC). Sebelum
lanjut, perlu saya tegaskan bahwa saya termasuk orang awam yang tidak tahu
apa-apa soal audio, sound system, amplifier atau speaker yang berkualitas. Pada masa
kuliah dulu, saya hanya mengenal merk Simbadda, audio set untuk Personal
Computer (PC) yang terdiri dari dua speaker kecil dengan pengatur volume
naik-turun dan satu buah subwoofer gemuk yang disimpan di bawah. Saya sangat
hafal dengan speaker Simbadda ini karena mereka adalah barang tertier di jaman itu, barang yang hanya
tersimpan manis dalam angan-angan dan tak pernah terfikir untuk membelinya.
Yang menarik
dari postingan mas Phillips adalah saat ia menyatakan ‘pindah agama’, dalam artian
ia menjual amplifier Cambridge Audio dan speaker lama miliknya, untuk
selanjutnya ia tukar dengan speaker dan ampli dengan teknologi tabung (tube)
buatan toko di STC tersebut. Sedikit penjelasan darinya bahwa teknologi tabung
itu mengalirkan suara, bukan memampatkannya seperti apa yang dilakukan komponen
transistor biasa pada audio system umum. Saya pikir ini sinting, bisa-bisanya
dia (mas Phillips) memilih diksi pindah agama alias murtad untuk urusan audio.
Hal itu yang membuat saya penasaran, seperti apa gerangan kualitas audio yang
dihasilkan oleh produk toko di STC tersebut hingga membuat orang seperti
Phillips Vermonte memilih untuk murtad dalam versi lain.
Toko di STC
itu bernama Analog Factory.
Analog Factory tampak luar-depan |
Hari Selasa
yang lalu saya mantapkan niat untuk menyambangi Analog Factory (AF). Saya
sampai di toko pada pukul 14.30 siang. Toko Analog Factory sepintas tidak
tampak seperti toko pada umumnya. Memang akan kita jumpai beberapa varian
produk AF, hanya saja kita tak akan temui display harga untuk masing-masing
produk tersebut. Bila kita masuk ke dalamnya maka yang akan kita temui adalah
ruangan semacam studio mini yang terperangkap dalam area pertokoan. Dinding dilengkapi
dengan peredam, amplifier yang disusun di tengah dengan posisi dua speaker di
sebelah kanan dan kiri, beberapa koleksi CD yang bergeletakan di sana sini,
termasuk juga koleksi piringan hitam. Pencahayaan di dalam pun dirancang
minimalis nan cozy. Tentu saja, sebuah sofa empuk menjadi pelengkap yang
sempurna.
Hanya ada
satu orang di sana, yakni Rizal salah satu staff AF. Sang pemilik yang
belakangan saya ketahui bernama mas Danu belum datang. Sehingga tidak banyak
informasi yang bisa saya dapatkan dari Rizal, karena secara detail teknologi ia
kurang faham. Tapi yang saya perhatikan, berulangkali ia bilang bahwa akan
lebih baik bagi saya untuk bicara dengan boss-nya, Profesor Danu. Orang ini
sudah pasti hebat pikir saya. Kalau tidak, mana mungkin anak buahnya sampai
menjulukinya professor.
Beruntung,
tak berapa lama kemudian datang Billy, bagian sales dan marketing Analog
Factory. Billy sebenarnya bukan orang asing untuk Danu karena ia adalah teman lama dari jaman sekolah.
“Jujur gw
gak bisa bilang bahwa produk kita lebih baik daripada merek-merek yang biasa
orang sebut itu. Apalagi pada saat pertama kali mereka melihat produk Analog
Factory, pertanyaan yang terucap adalah soal bagaimana perbandingan kualitas
terhadap merek-merek terkenal tersebut”, ujar Billy.
“Lalu gimana siasat loe tentang hal itu?”, jawab saya sembari menyesuaikan dialek
Betawi.
“Ya gw suruh
mereka datang kemari, lihat-lihat, duduk nyaman di sofa itu dan rasakan sendiri
bagaimana kualitas audio dari produk-produk kami. Hasilnya? Gw bisa katakan
hampir 80% dari mereka itu akan membeli produk kami. Sisanya yang 20% itu gak
jadi beli karena gak ada budget, atau ternyata produk yang mereka inginkan
sedang habis stoknya di kami, atau memang mereka sama sekali tidak mengerti
musik!”, tegas Billy penuh percaya diri setelah sebelumnya ia hisap dalam-dalam
vape smoke di tangannya.
Speaker box Analog Harmonik, tak kalah dengan produk sejenis |
Billy mulai menjelaskan satu per satu produk AF kepada saya. Ia tunjukkan model
Analog Harmonik yang merupakan speaker box berbentuk kotak persegi panjang
dengan balutan kayu jati belanda yang halus. Harmonik telah dilengkapi port USB
sehingga kita bisa memainkan playlist yang ada di gawai atau via koneksi Bluetooth.
Saya sempat bertanya tentang benda yang menyerupai corong di sebelah atas
speaker. Billy menjelaskan bahwa bagian itu berfungsi sebagai defraksi, berfungsi
untuk memecah suara sehingga menyebar ke segala penjuru arah. Billy menambahkan
bahwa Harmonik sudah memiliki hak paten.
“Barang ini
(Harmonik) bikin si Carlos Saba jatuh cinta. Loe tau kan Carlos Saba? Dia langsung
borong dua unit waktu itu."
Cukup banyak
informasi yang saya dapatkan dari perbincangan dengan Billy. Ia tidak hanya
menjelaskan tentang produk Analog Factory tapi juga menjelaskan seperti apa
karakter mas Danu. Menurut Billy, sosok Danu itu adalah seorang artis. Danu
bukan menciptakan produk audio melainkan sebuah karya seni. Setiap produk yang
ia buat tidak hanya memenuhi spesifikasi teknis, akan tetapi juga telah melalui
proses quality control dan testing yang ketat. Apabila Danu merasa masih ada
yang kurang pas di telinganya, tak ragu-ragu produk itu akan dibongkar lagi,
dilakukan perhitungan ulang dan fabrikasi ulang.
Waktu tak
terasa cepat berlalu. Tak berapa lama kemudian, mas Danu akhirnya datang ke
toko. Semula ia sibuk meminta staffnya yang lain untuk membawakan beberapa
produk audio. Setelah selesai menyusun barang-barang, barulah saya bisa ngobrol
dengan mas Danu. Oh ya, sebetulnya ada misi lain yang membawa saya berkunjung
ke Analog Factory. Yakni saya ingin meliput tentang AF untuk dimasukkan ke
dalam fanpage Indonesianisme Summit yang saya pegang. Sekedar informasi,
Indonesianisme adalah sebuah gerakan yang diusung oleh Ikatan Alumni ITB untuk
mendukung industri lokal. Dengan kemajuan industri dalam negeri diharapkan
dapat berpengaruh besar dalam pergerakan ekonomi bangsa. Oleh karena itu saya
pikir profil Analog Factory sebagai salah satu pabrikan audio skala lokal cukup
pantas untuk diangkat ke dalam page Indonesianisme tersebut. Hal inilah yang
saya sampaikan kepada mas Danu setelah Billy memperkenalkan kami.
Mas Danu
cukup antusias mendengar penjelasan saya soal indonesianisme. Dia sendiri
mengakui bahwa bangsa kita memang cenderung skeptis terhadap produk hasil karya
sendiri. Dia menerangkan bahwa 7 dari 10 brand gitar yang tersebar di seluruh
dunia itu sebenarnya dibuat di Indonesia. Entah kenapa, begitu labelnya
berganti nama menjadi brand lokal, justru tidak banyak peminatnya. Saya bukan
pencinta gitar jadi saya tak bisa mengkonfirmasi fakta yang disampaikan mas
Danu barusan.
Setelah ngalor
ngidul, mulailah saya diajak untuk mendengarkan kualitas suara produk Analog
Factory. Yang pertama saya coba dengarkan adalah produk Micro Ti. Mas Danu
menerangkan bahwa Micro Ti adalah set audio yang pas untuk skala apartemen. Untuk
satu paket Micro Ti (amplifier berikut dua speaker) dibanderol dengan harga 25
juta rupiah. Beberapa lagu sempat dicoba. Yang saya perhatikan adalah bahwa mas
Danu sangat suka dengan vokal Yura Yunita. Alhasil, beberapa kali saya
mendengarkan Keruh di Air Jenuh-nya
mojang Bandung ini yang album debutnya pada tahun 2014 masuk dalam daftar
Rolling Stone Indonesia’s Best Album. Nuansa jazz kental terasa dalam lagu ini.
Batin saya, ternyata ada juga lagu Yura yang enak selain Cinta dan Rahasia duetnya dengan Glenn.
Melihat saya
menghentakkan kaki sembari mengangguk- anggukkan kepala mengikuti irama lagu,
Billy tersenyum geli.
“Boss,
hati-hati. Begitu loe keracunan Analog Factory, ke luar dari sini loe akan
merasa bahwa suara yang keluar dari audio lain itu jelek. Wkwkwkwk ...”.
***
Teknologi audio
tabung pertama kali ditemukan pada tahun 1906 oleh Lee de Forest. Era keemasan
amplifier teknologi tabung berlangsung hingga sekitar tahun 1970an, sebelum
akhirnya digantikan oleh amplifier transistor. Beberapa kalangan menyayangkan
transformasi ampli tabung yang digeser oleh ampli transistor karena kualitas
suara yang dihasilkan tidak sama dengan suara asli.
Perbedaan Ampli Tabung & Ampli Transistor (sumber : IHEAC) |
Zaman dulu, tabung digunakan sebagai alat untuk penguat sinyal. Suara yang dihasilkan dari preamp atau amplifier tabung adalah jernih, bersih, natural, dan hampir sempurna. Sebenarnya hal ini juga tergantung pada perangkat pendukung seperti speaker (hal ini yang mendorong mas Danu untuk akhirnya memproduksi speaker sendiri), termasuk komponen elektronika yang dirangkai dalam sirkuit preamp atau ampli.
Menjelang
akhir era teknologi tabung, telah dikembangkan produk sirkuit amplifier high
quality, menggunakan pentode atau tetrode tubes untuk menyuguhkan performa
skala orkestra ke dalam rumah.
***
Saya sempat
melirik arloji karena saya teringat kalau belum menunaikan sholat ashar. Saya pamit
pada Billy dan mas Danu untuk pergi ke musholla. Selesai sholat saya kembali ke
toko. Saat saya berbelok ke lorong tempat toko Analog Factory berada, terdengar sayup-sayup suara lagu di langit-langit gedung. Spontan saya teringat dengan perkataan Billy
yang mewanti-wanti saya supaya waspada kalau mendengarkan musik dari audio
selain produk AF. Yang membuat saya terheran-heran, sayup-sayup lagu yang
mengalun di lorong, suara yang saya pikir berasal dari playlist yang diputar
oleh manajemen building STC, memiliki kualitas suara yang bersih, enak
didengar. Sehingga saya pikir, pernyataan Billy itu salah. Audio system gedung
STC ternyata tidak kalah mumpuni.
Seiring dengan
langkah saya mendekati toko, saya tercengang saat menemukan bahwa sayup-sayup
lagu yang saya dengar barusan itu bukan seperti apa yang saya duga berasal dari
musik gedung. Ternyata suara lembut itu berasal dari produk Harmonik yang
diletakkan di atas meja depan toko sebagai barang display. Sungguh saya takjub
dengan kekeliruan ini. Saya langsung ceritakan pengalaman ini kepada Billy dan
mas Danu yang disambut dengan gelak tawa.
Pengalaman saya
ini bukan hal aneh buat mas Danu dan Billy. Mereka juga sering
menyaksikan bagaimana ekspresi para pelanggan yang jatuh hati pada produk
tabung buatan Analog Factory. Suatu kali pernah ada yang datang ke toko setelah
sebelumnya membeli perangkat home teater merk X (bukan merk sesungguhnya) seharga 18 juta rupiah. Saat
berkunjung ke AF, Billy mempersilahkan si orang tersebut untuk coba menonton
film dengan perangkat Syncronnyy Home – perangkat audio skala home teater yang
terdiri dari satu hybrid tube amplifier dan dua buah speaker. Yang terjadi
selanjutnya adalah si orang tersebut tertegun lama dan akhirnya mengakui bahwa
kualitas suara Syncronnyy Home sangat jauh melebihi perangkat audio yang baru
saja dibelinya. Sempat ia menyangka bahwa harga Syncronnyy Home itu pasti
mahal, dengan alasan karena menggunakan tabung dan produksi sendiri. Saat Billy
memberitahukan bahwa harga perangkat audio merk X yang dibelinya itu
sebenarnya bisa untuk membeli perangkat Syncronnyy Home sebanyak 2 unit, si
orang tersebut tambah lemas.
“Trus gimana
kelanjutannya?”, tanya saya penasaran.
“Ya akhirnya
dia tetep beli juga Syncronnyy Home satu set. Sementara barang yang udah
terlanjur dibelinya itu dia hibahkan ke orang lain”, jawab Billy sembari
terkekeh.
Saya cukup
takjub dengan pengalaman orang yang diceritakan tersebut. Mengingat ini adalah
kali pertama saya berkenalan dengan Billy, dan mengingat bahwa jobdesk Billy di
AF adalah sebagai ujung tombak penjualan, wajar rasanya apabila sempat
terlintas di benak saya bahwa segala hal yang disampaikannya adalah tak lain
hanyalah bualan dan rangkaian kata-kata manis seorang sales. Tapi hal ini gugur
saat saya sendiri mengalami pengalaman unik di lorong selesai sholat ashar
tadi. []
(BERSAMBUNG)
Comments
Post a Comment