Menjadi Detektif
Sore hari
tempo lalu adalah keberuntungan saya. Saat sedang berjalan menyusuri lapak
penjual buku bekas di Blok M Square (dan percayalah bahwa saya tidak berniat
membeli buku), mata saya terpaku pada sebuah buku yang dipajang. Imung, detektif
cilik karya Arswendo Atmowiloto, buku nomer 3. Seingat saya, serial Imung adalah
salah satu fiksi yang dibaca saat menyusun Gaspar, demikian pengakuan Sabda
Armandio. Otomatis saya menyambar buku tersebut dan menanyakan harga pada si
pemilik lapak. Empat puluh lima ribu banderolnya. Tak mau kurang. Saya tawar
tiga puluh belum mau dia. Akhirnya kami sepakat di angka empat puluh ribu
rupiah. Hati saya senang.
Baru satu
cerita yang saya baca, yakni soal pemilik perusahaan minuman ringan yang
diperas oleh dua orang wartawan. Kedua pemerasnya mengaku telah mengetahui
bahwa pabrik minuman di Belanda yang menjadi afiliasi si pemilik perusahaan
telah terkontaminasi zat kimia tertentu. Supaya kasus ini tidak diungkap di media massa, sang pemilik perusahaan diperintah
untuk menyiapkan uang sejumlah dua puluh juta rupiah dalam kurun waktu dua jam
saja. Saya belum sampai pada bagian akhir cerita ini, tapi yang pasti saya bisa
melihat bagaimana Imung bekerja. Ia bisa menganalisa secara jernih cerita yang
disampaikan sang pemilik perusahaan dan menyusun siasat guna menjebak kedua
penipu tersebut. Menarik.
Hari ini
media tirto.id menayangkan laporan
tentang kisah panjang penjarahan eks kapal perang Belanda di Laut Jawa. Sebelumnya
saya sudah membaca pengantar reportase ini yang dikemas dengan sangat apik oleh
Zen RS. Zen menyampaikan bahwa reportase ini dikerjakan secara intensif selama
3 (tiga) bulan, yang mana dikerjakan oleh salah seorang reporter tirto.id yang betul-betul fokus hanya
mengerjakan laporan ini saja. Zen juga menyampaikan bahwa dalam prosesnya,
reportase ini cukup diminati dunia internasional. Inggris, Jerman, Belanda, Jepang
dan Amerika menganggap bahwa bangkai kapal-kapal perang tersebut adalah situs
nasional yang wajib dilestarikan. Faktanya kapal-kapal itu dijarah.
Saya tertarik
untuk mengupas bagaimana tirto.id
mengemas reportase ini menjadi suatu laporan jurnalistik yang menarik,
jurnalistik narasi investigasi yang panjang namun tidak membosankan. Yang
membuat saya terpikat sehingga tak sabar untuk mengulas reportasi ini adalah
bahwa dalam prosesnya, laporan jurnalisme kadang meniadakan hijab antara
detektif dan jurnalis, seolah-olah mereka itu sama, tak ada beda. Mari kita
telaah satu per satu.
Semua harus dikaji, tanpa kecuali
Mungkin ini
dasar utama cara kerja detektif. Setiap orang yang terlibat dalam suatu
perkara, tentu setelah dikerucutkan dengan menganalisa faktor-faktor tertentu,
adalah tersangka. Semua memiliki motif tertentu dan semua bisa menjadi
pelakunya. Semua hal adalah mungkin. Dalam reportase tirto.id, tersangka pertama adalah orang Madura. Ini adalah suatu
kewajaran, setiap orang faham bahwa orang Madura kadung terkenal dengan usaha
besi loakannya. Ada lelucon begini, manakala suatu pabrik berhenti produksi,
tunggu saja waktu satu minggu. Niscaya pabrik itu akan lenyap karena
besi-besinya sudah diambil oleh orang Madura.
Tapi jurnalis
atau detektif tidak bekerja berdasarkan asumsi, stigma atau lelucon. Asumsi atau
prasangka awal harus dibuktikan. Dan ini dilakukan oleh tirto.id. Mereka mendatangi orang Madura, bertanya ini itu dan
tentu saja disambut dengan semprotan sengit. Mereka, orang-orang Madura dengan
lantang mengatakan bahwa bukan mereka pelakunya. Dasar faktanya adalah bahwa
kapal yang sedang diinvestigasi, Kapal De Ruyter dan Java memiliki dimensi
masing-masing 171 meter dan 155 meter, dengan lebar 16 meter. Orang Madura
belum memiliki teknologi yang mumpuni untuk mengangkut kapal sebesar itu dan tentu
saja akan sangat-sangat-sangat menyulitkan apabila dilakukan dengan alat konvensional.
Dari sini satu hal terjawab, bukan orang Madura pelakunya.
Satu tersangka
dicoret dan mereka beralih ke tersangka berikutnya, PT Jatim Perkasa. Dari informasi
orang lokal, didapat info bahwa pelaku penjarahan adalah kapal tongkang Pioneer
88 yang notabene milik perusahaan Jatim Perkasa. Hei, tentu saja kau akan dapat
informasi dengan mudah dari pihak-pihak yang sakit hati, pihak yang
tersingkirkan lahan mata pencahariannya. Tirto.id
mengorek informasi berharga dari Basrawi, penyelam lokal yang telah lama
berkecimpung di perairan Madura dan Gresik. Soal ini menjadi kajian di poin
kedua berikut.
Pemilihan nara sumber
Lakukan analisa
pada semua pihak, baik yang diuntungkan maupun yang dirugikan. Dari sana kau
bisa memperoleh narasumber yang tepat. Salah satu pekerjaan saya adalah
menganalisa sejauh mana kinerja suatu mesin-mesin industri. Dengan teknologi
monitoring online yang sudah diterapkan pada berbagai peralatan, saya mampu
untuk mengumpulkan aneka ragam informasi. Temperatur, tekanan, laju aliran
massa, daya yang dibangkitkan bahkan perhitungan efisiensi pun bisa saya
dapatkan.
Tapi analisa
saya akan semakin akurat dengan ditambah kesaksian dari para operator mesin. Mereka
adalah pelaku riil di industri ini. Tangan, penciuman, pendengaran, segala
macam indera mereka sudah dipenuhi parameter-parameter mesin. Frank Herbaty,
seorang konsultan manajemen perawatan mesin asal Amerika mengaku bahwa kecintaannya pada
bidangnya timbul akibat interaksi yang sangat intensif di dalam ruang mesin.
Teknologi juga
sangat membantu pekerjaan tirto.id. Data
pencitraan dari Google Earth membuktikan bahwa area operasi kapal tongkang
Pioneer 88 adalah berpusat di Brondong, Lamongan, lokasi dimana kerangka kapal
Belanda itu terbaring.
Kaji dengan detail segala seluk beluknya
Pada Laporan
yang kedua, di bagian awal tirto.id
menceritakan perihal proses pemotongan besi. Berbagai fakta diperoleh misalnya
bahwa besi baja kapal zaman dahulu itu cukup mudah untuk dipotong. Kesaksian ini
didapat dari narasumber yang mana merupakan salah seorang pekerja pemotongan
besi di PT Jatim Perkasa. Hal ini diperkuat dengan keterangan tenaga ahli,
dalam hal ini ialah Zulfandi Zulham, ahli metalurgi dari Institut Teknologi
Bandung (ITB).
Adalah suatu
kebetulan bahwa hari ini saya tengah bersama dengan rekan kerja saya yang
notabene mengenyam pendidikan ilmu material dari jurusan metalurgi. Kawan saya
ini membenarkan nama yang disebut di reportase tersebut, Zulfandi Zulham adalah
salah satu dosen metalurgi di ITB. Otomatis perbincangan kami berlanjut seputar
topik ilmu metalurgi dan material, salah satu subyek yang jadi momok untuk saya
saat sidang sarjana dahulu. Bagaimana tidak, saat sidang sarjana tersebut, saya
hanya bisa menjawab bahwa material yang cocok untuk engine block adalah besi cor namun saya tidak bisa menjelaskan
alasannya. Bukan karena gugup atau lidah saya kelu tapi karena memang saya
tidak tahu.
Masa lalu
cukup menjadi pelajaran berharga. Justru siang tadi saya sangat antusias
berbincang soal analisa kegagalan material bersama kolega saya tersebut. Saya ingat
bahwa dulu saya mengambil mata kuliah tersebut, Analisa Kegagalan yang diampu
oleh dosen kami yang nyentrik, Profesor Mardjono. Beliau bisa menjelaskan
dengan sederhana bahwa beban tarik akan meninggalkan bentuk potongan 90 derajat
sedangkan beban puntir akan meninggalkan bentuk potongan 45 derajat. Beachmark lain lagi. Fenomena seperti
garis pantai ini akan terlihat pada kegagalan material yang menandakan bahwa
telah terjadi beban dinamik, berulang-ulang.
Selalu menyenangkan untuk masuk kelas kuliah pak Mardjono ini. Dan sudah menjadi rahasia umum, apabila ada suatu musibah pesawat jatuh, tidak ada kelas hari itu. Karena pak Mardjono dipanggil oleh KNKT (seperti biasa) untuk menjadi tenaga ahli dalam menganalisa kasus kecelakaan pesawat tersebut.
Reportase tirto.id juga menyimpulkan bahwa kapal
tersebut adalah berasal dari era sebelum tahun 1940-an. Hal ini terbukti dari
bentuk struktur badan kapal yang disatukan dengan menggunakan sistem keeling (rivet),
bukan dilas. Pengelasan badan kapal baru menjadi pertimbangan saat terjadi
Perang Dunia II.
Saya tidak
sabar menantikan kelanjutan laporan tirto.id
soal penjarahan kapal perang ini. Laporan dengan gaya narasi investigasi
seperti ini yang sekiranya mampu memenuhi hasrat saya soal jurnalistik. Dulu memang,
pada saat kecil saya seringkali bercita-cita menjadi seorang wartawan. Sekarang
saya paham, saya tak perlu menjadi jurnalis. Pekerjaan saya pun kadang tak
ubahnya macam detektif atau jurnalis. Dan saya akan mempertimbangkan untuk
memotong rambut ala Tintin. []
* Gambar
diambil dari timbangan jadul yang ada di kafe Tjikini, tempat tulisan ini
dirangkai
Link artikel
tirto.id terkait kasus penjarahan
kapal perang :
Comments
Post a Comment