Senin, Roti, Robot
Ia menggenggam
erat plastik bungkus roti itu dengan kedua tangannya. Ia berfikir dengan begitu
ia mampu untuk menghambat laju perpindahan panas yang terjadi di area tersebut.
Ia masih mengingat betul pelajaran yang ia dapat dari mata kuliah dulu, bahwa heat transfer adalah suatu keniscayaan
manakala terdapat dua benda yang memiliki perbedaan temperatur (ΔT). Maka ia
yakin, dengan cuaca sekitar yang dingin karena hujan baru saja selesai, roti yang
ia beli dalam perjalanan pulang kerumahnya tersebut pasti tidak sehangat saat
diangkat dari panggangan di toko tadi.
Ia memang
ingin cepat sampai dirumah. Ia ingin segera memberikan roti panggang itu untuk
anaknya yang sedang susah makan. Ya, anaknya sudah beberapa hari ini menolak
untuk makan nasi. Ingin rasanya ia sekali-kali menegur keras anaknya tersebut
seraya berkata,
“Ayoo
makan! Kamu pikir cari uang buat beli beras itu gampang??”.
Tapi pikiran
semi-jahat itu tidak ia laksanakan. Walaupun
pelipis kanan atasnya terdapat bekas jahitan luka, ditambah dengan kumis dan
jenggot tebal akibat ia sedang malas untuk bercukur, yang mana ciri-ciri
tersebut akan membuat siapapun pasti akan berkesimpulan bahwa ia adalah orang
yang galak, sebenarnya tak sekalipun ia punya daya untuk memarahi anak
kesayangannya.
Ia tak
ingin meniru figur ayahnya dahulu yang menurutnya lebih mirip jelmaan si Barbarian, salah satu antagonis yang
bertarung melawan duo Tiger Wong. Sobat
karib Tiger, Gold Dragon pun masih
kewalahan menghadapi Barbarian
walaupun sudah mengaktifkan Baju Besi Level 9-nya. Berbadan besar, berwajah
bengis, ampun. Menatap langsung ke mata ayahnya pun kala itu ia mana berani. Maka
keringat dingin yang akan muncul saat ia membaca kertas ulangan yang dibagikan
ibu guru di kelas. Nilai 75 sebetulnya tidak terlalu buruk untuk anak yang
duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Tapi defisit 25 poin dari nilai 100 itu belum
cukup untuk ayahnya, si Barbarian
yang menuntut kesempurnaan.
Beberapa opsi
lantas terpikir di benaknya. Seperti misalnya merobek kertas ulangan tersebut,
atau kabur ke rumah kakeknya di kampong sebelah lalu bermalam disana sampai
ayahnya datang mencari, atau kabur keluar pulau Sumatera sekalian dengan bekal
seadanya. Tapi semua opsi tersebut ia lupakan dan ia memilih pulang untuk
menghadapi sabetan gesper ayahnya, si
Barbarian.
Sampai saat
sekarang dimana ia sudah memiliki keluarga sendiri, sampai ia memiliki seorang
anak yang senang bermain robot-robotan, tak sekalipun ia berniat balas dendam
atas perbuatan ayahnya. Tidak kepada si Barbarian,
pun tidak juga dilampiaskan pada sang anak. Ia percaya, bahwa itu hanyalah satu-satunya
metode parenting yang ayahnya tahu,
dan hampir dipastikan turun menurun dari kakeknya, kakek buyutnya, moyang kakek
buyutnya dan seterusnya.
***
Benar saja,
roti itu sudah mulai dingin saat tukang ojek menanyakan arah belokan ke
rumahnya. Tak apalah pikirnya. Yang penting si anak mau makan. Karena setahu
dia memang roti panggang ini kesukaannya. Ia sudah membayangkan agenda kegiatan
nanti sesampainya di rumah. Menyuapi si kecil, bermain kuda-kudaan,
memperhatikan si anak memamerkan robot-robotan miliknya, sebelum akhirnya
membacakan buku dongeng untuk pengantar tidur. Ia telah mengkalkulasi semua
kegiatan tersebut yang kira-kira akan memakan waktu 30 sampai 45 menit.
Sampai satu
jam pun sebenarnya tak mengapa. Dengan demikian ia masih memiliki waktu untuk membuat laporan
harian proyek yang sedang ia awasi pelaksanaannya. Dengan demikian ia tidak
perlu melamun lagi di perjalanan menuju kantor client seperti yang terjadi tadi pagi. Lamunan perihal kurva S
proyek yang menurutnya sudah meleset terlalu jauh dari rencana. Lamunan yang
akhirnya buyar akibat bunyi klakson kendaraan yang bersahut-sahutan. Sebenarnya
ia tidak heran mendengar bunyi-bunyi berisik tersebut. Ia tahu bahwa hari Senin
itu efektif untuk merubah seorang pangeran sekalipun menjadi nenek-nenek sihir
yang cerewet.
Ia sempat
tertarik untuk coba menganalisa, hal-hal apa yang memicu semua orang untuk
berlomba-lomba membunyikan klakson secara bersamaan di hari Senin. Padahal ia
tahu bahwa hari itu tiada berbeda dengan hari-hari lainnya, Selasa, Rabu, Kamis
dan Jumat. Hal ini berarti bahwa jumlah orang yang beraktifitas itu relatif sama.
Yaa mana mungkin dalam sehari suatu kantor bisa bertambah jumlah karyawannya
dalam sekejap, demikian pemikiran sederhananya.
Tapi ia
teringat kembali soal kurva S-nya, sehingga ia mengurungkan niat untuk
melanjutkan hipotesanya soal klakson tadi.
Ada satu
hal yang ia bisa tarik kesimpulan. Bahwa Tuhan itu Maha Segalanya, termasuk
maha menghibur dengan guyonannya. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan otak
yang brilian sehingga mereka mampu menciptakan kelengkapan kendaraan bernama
klakson. Namun otak yang brilian itu lupa dioptimalkan saat memencet klakson
berulangkali, kadang disertai dengan umpatan dan makian padahal kendaraan mereka
tertahan beberapa detik saja.
Hari Senin
sudah tinggal hitungan beberapa jam lagi. Anaknya sudah tertidur pulas. Rupanya
roti panggang itu lebih dari cukup untuk membuat kenyang, dan kantuk pada
anaknya. Kegiatan mendongeng yang absen malam ini membantu ia menyelesaikan
laporan hariannya lebih awal.
Ia lalu
pergi ke kamar mandi, bebersih dan menggosok gigi. Kegiatan yang terakhir jelas
bukan favoritnya andaikan tidak ada sisa-sisa serat daging kambing dari menu
sop yang ia lahap siang tadi.
Ia
kemudian membereskan segala pernak-pernik mainan milik anaknya yang berserakan
di lantai. Semua mainan anak laki-laki tersedia semua, dari mulai Lego,
mobil-mobilan, pesawat, you named it.
Termasuk robot-robotan yang sedang digandrungi sangat oleh anaknya. Agak lama
ia memegang dan menimang-nimang robot mainan tersebut. Robot-robotan berwarna
paduan merah, biru dan abu-abu. Anaknya selalu membawa serta robot itu kemana
pun ia pergi. Saat jajan ke warung, atau main kerumah tetangga depan, bahkan
saat ia ajak si anak naik motor keliling kampung pun si robot tak ketinggalan. Robot-robotan
itu hadiah ulangtahun dari kakek si anak. Ya, si Barbarian ayahnya.
Hari Senin
tinggal satu jam lagi. Ia mulai menguap, ngantuk. []
Comments
Post a Comment